“KAU akan pergi ke Amerika, Miss Han?” tanya Mister Kim dengan kening berkerut. “Aku tidak salah dengar?”
Sandy memasang senyum termanisnya dan menjawab, “Benar, Mister Kim. Hanya sepuluh hari. Tidak lebih.”
Mister Kim mendecakkan lidah. “Memangnya untuk apa kau ke sana? Kau mau pindah ke sana atau bagaimana?”
Sandy menggeleng-geleng. “Tidak, Mister Kim. Hanya jalan-jalan.”
“Tujuh bulan lalu aku sudah memberimu cuti karena kau mengalami kecelakaan. Masa sekarang kau mau cuti lagi?” Mister Kim masih bersikeras.
“Mister Kim, ayolah,” bujuk Sandy. “Hanya sepuluh hari.”
Mister Kim menatapnya dengan mata disipitkan. “Kau pergi dengan siapa?”
“Oh?” Sandy jadi salah tingkah. “Oh... dengan... Jung Tae-Woo.”
“Hah!” seru Mister Kim. “Anak itu! Dia pikir karena dia artis maka bisa sembarangan merebut asistenku kapan saja dia mau? Seenaknya saja! Fine, kau boleh ke Amerika. Sebagai gantinya, suruh Jung Tae-Woo tidak usah pergi. Dia harus menggantikanmu menjadi asistenku selama kau cuti.”
Sandy tertawa mendengar atasannya marah-marah. “Jangan begitu, Mister Kim. Tapi bagaimanapun, kalau dipikir-pikir, saya harus berterima kasih pada Anda.”
“Untuk apa?”
“Karena Mister Kim telah memintaku mengantarkan pakaian kepada Jung Tae-Woo sehingga aku bisa berkenalan dengannya.”
“Itu salah satu penyesalanku.”
“Saya senang Anda melakukannya,” kata Sandy, tidak mengacuhkan kata-kata Mister Kim.
170
Mister Kim menatapnya.
“Sungguh,” Sandy menegaskan.
Akhirnya atasannya menyerah. “Okay, aku akan mengabulkan permintaan cutimu. Tapi hanya sepuluh hari. Tidak lebih. Understand?”
Sandy mengangguk dan tersenyum lebar. “Terima kasih, Mister Kim. Anda baik sekali.”
“Kau sungguh tidak mau mengganti nada deringmu?” tanya Sandy. Ia berdiri di ambang pintu kamar Jung Tae-Woo sambil menggenggam ponsel laki-laki itu.
Jung Tae-Woo berhenti mengemas pakaian ke koper dan mengangkat wajah. “Kenapa? Kau menjawab teleponku lagi?” ia balas bertanya. “Kau memang tidak sengaja atau jangan-jangan kau sedang memata-mataiku?”
Sandy mendengus. “Hoho... kau... Sudahlah, tidak apa-apa. Tidak perlu kaujawab pertanyaanku. Biar aku yang mengganti nada deringmu.”
Sandy baru mulai menekan-nekan tombol ponsel Jung Tae-Woo ketika laki-laki itu mengambil ponselnya dari tangan Sandy.
“Jangan diganti,” katanya.
“Kenapa?” tanya Sandy.
Jung Tae-Woo tersenyum dan kembali mengemasi pakaian. “Aku suka kita punya nada dering yang sama. Silakan saja jawab teleponku sesukamu. Tidak ada yang perlu kusembunyikan.”
Sandy meringis, lalu berkata, “Ayo cepat. Kita harus berangkat ke bandara.”
“Sudah hampir selesai,” kata Jung Tae-Woo sambil mengunci koper. “Kau sendiri yakin tidak ada barangmu yang ketinggalan? Kita sudah tidak punya waktu untuk kembali ke apartemenmu.”
“Tidak ada,” kata Sandy yakin. Ia meraih topi kuning pemberian Jung Tae-Woo dan memakainya. “Jung Tae-Woo ssi, orangtuamu sudah tahu aku akan ikut ke sana?”
“Kau sudah tanya itu berkali-kali,” sahut Jung Tae-woo sambil membawa koper ke lantai bawah. Sandy menyusulnya dari belakang.
“Aku hanya tidak mau mereka kaget begitu melihatku,” Sandy menjelaskan. “Aku memang sudah bertemu ibumu, tapi aku belum bertemu ayahmu.”
Jung Tae-Woo meletakkan kopernya di dekat pintu depan.
“Jung Tae-Woo ssi,” panggil Sandy.
Jung Tae-Woo memutar tubuh dan menatap Sandy. “Apa?”
“Kenapa aku ada di nomor sembilan ponselmu?”
171
Sandy melihat Jung Tae-Woo agak kaget mendengar pertanyaannya, lalu laki-laki itu tersenyum geli. “Astaga, kukira ada masalah serius apa.”
“Aku hanya penasaran.”
“Karena aku suka nomor sembilan dan karena aku merasa kau cocok dengan angka sembilan,” jawab Jung Tae-Woo ringan.
“Cocok? Hanya karena itu?”
Jung Tae-Woo meletakkan kedua tangan di bahu Sandy. “Ya,” jawabnya sambil menatap lurus ke mata Sandy. “Sekarang, ayo pergi, sebelum ketinggalan pesawat.”
“Siapa yang tidak berkemas sejak kemarin?” tanya Sandy agak jengkel.
Jung Tae-Woo tertawa dan merangkul bahu Sandy. “Baiklah, aku minta maaf. Bisa kita berangkat sekarang?”
“Oke,” sahut Sandy. “Jangan lupa kuncimu. Sudah kaukunci semua jendelanya? Kompor gas sudah diperiksa?”
“Hei, kau tidak jadi minum-minum dengan kita?” tanya Park Hyun-Shik begitu ia menutup ponsel.
Tae-Woo tersenyum meminta maaf. “Maaf, Hyong. Lain kali aku yang traktir.” Kemudian ia meminta sopir mengantarnya ke rumah.
“Begitu kembali dari luar negeri, sudah ada yang menunggu di rumah. Menyenangkan sekali,” kata Park Hyun-Shik sambil tersenyum.
“Dia memintaku makan di rumah,” kata Tae-Woo.
“Aku heran kenapa kau menyimpan nomor telepon Sandy di nomor sembilan,” kata Park Hyun-Shik. Ia mendadak ingat pernah melihat Tae-Woo menekan nomor sembilan di ponsel untuk menghubungi Sandy.
“Oh, itu,” kata Tae-Woo sambil tersenyum. “Hyong tahu aku suka bisbol, kan?”
“Aah, sepertinya aku tahu alasannya,” kata Park Hyun Shik sambil mengangguk-angguk mengerti.
Tae-woo mengabaikan manajernya itu dan tetap melanjutkan, “Dalam bisbol ada sembilan pemain. Kurang satu saja tidak bisa. Sembilan artinya lengkap. Kenapa aku menyimpan nomor Sandy di nomor sembilan? Itu karena kalau dia ada, aku baru merasa benar, merasa lengkap. Dia nomor sembilanku.”
“Persis seperti yang kuduga,” kata Park Hyun-Shik puas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar