“SANDY, setelah Mama pikir-pikir, sebaiknya kamu jangan terlibat dengan artis itu lagi.”
Sandy memindahkan ponsel ke telinga kirinya. “Mama, Sandy kan sudah bilang bahwa hubungan Sandy dengan dia nggak seperti yang Mama kira.”
Di ujung sana, ibunya menghela napas berat dan berkata, “Mama ngagk peduli kalian punya hubungan yang seperti apa, tapi yang penting, jangan bergaul dengan artis itu. Atau artis mana pun.”
Giliran Sandy yang menarik napas panjang.
“Awalnya Mama pikir kamu bisa menyelesaikannya, tapi sepertinya nggak begitu,” kata ibunya lagi. Suaranya terdengar sedih. “Kenapa kamu harus terlibat dengan dia? Memangnya kamu sudah lupa tentang Lisa?”
Sandy terdiam. Ia merasa tidak perlu diingatkan pada masalah itu. Ia belum lupa. Tidak pernah lupa. Bagaimana bisa lupa? Sejak pertama kali bertemu Jung Tae-Woo sampai sekarang, setiap kali melihat Jung Tae-Woo, ia selalu teringat pada Lisa, selalu bertanya pada dirinya sendiri apakah keputusannya benar. Kini ia merasa ada yang salah pada keputusannya. Seharusnya ia memang tidak terlibat dengan Jung Tae-Woo, karena sekarang ini hatinya kacau, pikirannya kacau. Ia tidak bisa tenang karena belum sepenuhnya jujur pada laki-laki itu.
“Jangan katakan masalah kali ini berbeda dengan masalah Lisa,” kata ibunya lagi. “Karena walaupun berbeda, Mama nggak peduli. Tolong jangan terlibat dengan dia lagi.”
Jung Tae-Woo orang yang baik, Ma,” kata Sandy.
138
“Mama nggak tahu apakah dia orang yang baik atau jahat,” sela ibunya cepat. “Yang Mama tahu, kematian kakakmu ada hubungannya dengan dia. Jadi jauhi dia, Sandy. Jauhi dia.”
Sandy tersentak. “Kenapa Mama bicara seperti itu? Mama bicara seakan-akan Jung Tae-Woo sendiri yang menyebabkan kematian Lisa.”
“Bukan itu yang Mama katakan!” kata ibunya keras. “Mama hanya berpikir, kalau saja waktu itu Lisa nggak ke Korea, kalau saja dia nggak ikut acara itu, sekarang dia pasti masih hidup.”
Pada dasarnya ibunya bukan orang yang berpikiran sempit, Sandy tahu itu. Ibunya bukan orang yang suka berandai-andai. Sebenarnya bukan ini yang Sandy harapkan ketika ia memutuskan membantu Jung Tae-Woo. Saat itu tujuannya hanya untuk mengenal Jung Tae-Woo, mengenalnya lebih baik. Hanya sebentar dan sebatas itu. Ia tidak punya maksud apa pun. Bagaimana ia bisa tahu masalahnya bisa berubah jadi seperti ini? Bagaimana ia bisa tahu bahkan perasaannya bisa berubah jadi seperti ini?
Setelah menutup telepon, Sandy bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke jendela. Ia menyingkap tirai dan memandang ke luar jendela. Hujan. Sudah berapa lama? Ia tidak menyadarinya.
Sandy menarik napas, lalu mengembuskannya pelan. Ia memegang pipinya yang terasa hangat. Benar, kakak perempuannya, Lisa, sudah meninggal. Lisa dulu penggemar Jung Tae-Woo. Lisa penggemar Jung Tae-Woo yang meninggal pada acara jumpa penggemar empat tahun lalu. Siapa yang bisa menduga Lisa akan meninggal hanya karena menghadiri acara jumpa penggemar? Sandy masih ingat ketika Lisa meneleponnya empat tahun yang lalu.
“Sandy!” seru kakaknya gembira. “Acaranya baru selesai nih! Akhirnya aku ketemu Jung Tae-Woo! Aku melihat dia! Aku bahkan bicara dengan dia! Oh ya, aku berhasil mendapatkan tanda tangannya. Dapat dua. Satu buat kamu. Dan aku juga mendapat bros dari dia! Tadi dia membagikan sepuluh bros kepada penggemar-penggemarnya. Salah satunya aku! Beruntung banget, kan?”
Sandy hanya mendengus dan tertawa. “Aduh, senangnya. Pasti Onni satu-satunya orang Indonesia di sana. Onni sempat bicara sama dia? Pakai bahasa apa? Memangnya Onni bisa bahasa Korea?”
“Jangan anggap enteng Onni-mu ini ya,” kata kakaknya sambil tertawa. “Aku bisa bahasa Inggris sedikit-sedikit. Bahasa Korea? Setidaknya aku bisa bilang „Sarang haeyo*, Tae-Woo Oppa‟. Itu yang paling penting.”
Sandy tersenyum mendengar tawa kakaknya di ujung sana.
“Kenapa sih kamu nggak mau ikutan? Rugi lho,” kata Lisa lagi.
139
Sandy meringis. “Ih, Onni kan tahu aku bukan penggemar Jung Tae-Woo. Untuk apa berdesak-desakan demi melihat seseorang yang tidak aku suka? Memangnya seperti Onni yang demi melihat Jung Tae-Woo saja harus naik pesawat ke sini.”
“Cinta perlu pengorbanan,” kata Lisa puitis, lalu tertawa lepas.
Sandy juga ikut tertawa.
“Ya sudah, sekarang aku lagi nunggu dia keluar,” kata Lisa. “Wah, mulai hujan nih. Oh, nah, nah, nah... itu dia udah keluar. Udah dulu ya. Sebentar lagi aku pasti pulang. Jangan makan dulu. Tunggu aku. Annyeong!**”
Itu terakhir kalinya Sandy mendengar suara Lisa. Lisa tidak pulang makan. Sandy menunggunya pulang untuk makan, tapi dia tidak pulang. Setelah menunggu lama, telepon berbunyi dan Sandy nyaris lumpuh mendengar berita itu. Ia tidak ingat apa yang dilakukannya kemudian. Semuanya menjadi kabur. Kalau tidak salah, ia langsung menelepon orangtuanya di Jakarta, lalu berlari ke rumah sakit. Lisa tidak membuka mata ketika Sandy tiba di rumah sakit. Kakaknya tidak membuka mata saat Mama dan Ayah tiba di rumah sakit. Ia bahkan tidak membuka mata ketika Mama memanggil namanya. Lisa tidak pernah membuka matanya lagi.
Sandy tersadar dari lamunan dan menyadari pipinya basah karena air mata. Ia menghapusnya dengan telapak tangan, namun air mata tidak mau berhenti mengalir.
Sekarang harus bagaimana? Jung Tae-Woo... haruskah ia memberitahu laki-laki itu?
Tiba-tiba ponselnya berdering. Sandy tersentak. Ia memandang ponselnya yang tergeletak di tempat tidur. Ia menghapus air mata dan meraih ponsel itu. Ia melihat layar ponsel yang menyala. JTW. Jung Tae-Woo.
“Halo?”
“Sandy?” Terdengar suara Jung Tae-Woo. “Sudah makan?”
Tanpa sadar Sandy tersenyum. “Kau menelepon cuma untuk menanyakan itu?”
“Memangnya tidak boleh?” balas Jung Tae-Woo. “Sudah makan, belum?”
“Tentu saja sudah. Sekarang sudah lewat jam makan malam,” sahut Sandy. “Kau belum makan?”
“Belum. Aku baru selesai syuting untuk acara televisi,” jawab Jung Tae-Woo, lalu terdengar suara bersin.
“Kau kenapa? Flu?” tanya Sandy.
“Tidak. Hanya saja cuaca agak dingin hari ini,” ujar Jung Tae-Woo.
Sandy mendengar sepertinya Jung Tae-Woo sedang membersihkan hidungnya.
* Aku cinta padamu
** Sampai nanti.
140
“Sekarang sedang hujan. Jangan berkeliaran ke mana-mana. Pakai baju yang tebal sedikit,” kata Jung Tae-Woo menasihati.
“Memangnya kau ibuku?” balas Sandy sambil tertawa kecil.
“Hanya berusaha menunjukkan sedikit perhatian. Sudahlah. Tidak apa-apa. Aku akan pergi makan dengan Hyun-Shik Hyong.”
“Jung Tae-Woo ssi.”
Ah, apakah dia barusan memanggil Jung Tae-Woo?
“Apa?”
Sandy tidak tahu apa yang ingin dikatakannya. Tadi ia hanya ingin mendengar suara Jung Tae-Woo.
“Kau tidak apa-apa, kan?” tanya Jung Tae-Woo dengan nada khawatir.
Sandy menggeleng, tapi setelah menyadari Jung Tae-Woo tidak bisa melihatnya, ia berkata, “Tidak, aku tidak apa-apa.”
“Lalu ada yang mau kaukatakan?”
Sandy tidak menjawab.
“Wah, jangan-jangan kau rindu padaku?” gurau Jung Tae-Woo.
“Mm.”
“Apa? Kau bilang apa?”
Sandy ragu-ragu sejenak, lalu menetapkan hatinya. “Mm, aku memang rindu padamu.”
“Oke, itu artinya aku harus berlari menemuimu sekarang,” kata Jung Tae-Woo.
Sandy tertawa. “Itu tidak perlu.”
“Kau ada di rumah, kan? Tunggu di situ. Aku akan segera ke sana.”
“Jung Tae-Woo ssi, tidak usah. Lagi pula sedang hujan—Jung Tae-Woo ssi? Halo? Jung Tae-Woo ssi. Astaga.” Sandy menatap ponselnya heran. Ada apa dengan laki-laki itu? Apakah dia serius?
Tae-Woo hampir tidak bisa memercayai telinganya sendiri. Sandy rindu padanya. Ia segera bangkit dari tempat duduk dan mengumpulkan barang-barangnya.
“Tae-Woo, kau mau makan di mana?” tanya manajernya yang baru masuk ke ruang rias. “Mau makan bersama—hei, kau mau ke mana?”
Tae-Woo memandang Park Hyun-Shik sekilas dan berkata, “Maaf, Hyong. Aku harus menemui Sandy sekarang.”
“Oh? Kenapa buru-buru seperti itu?” tanya manajernya lagi. “Apa yang terjadi? Sandy kenapa?”
141
Tae-Woo yang sudah berjalan mencapai pintu berbalik dan menatap manajernya. Ia tersenyum melihat manajernya kebingungan.
“Dia rindu padaku,” kata Tae-Woo, lalu keluar meninggalkan Park Hyun-Shik yang masih terlihat bingung.
Sandy mendengar bel pintu berbunyi. Begitu cepat sudah sampai? Ia bangkit dan berjalan ke pintu. Ketika ia membuka pintu, Jung Tae-Woo sudah berdiri di sana sambil tersenyum lebar.
“Bukankah sudah kubilang kau tidak perlu datang kemari,” kata Sandy. “Kau kehujanan—“
Sandy tercengang ketika Jung Tae-Woo tiba-tiba memeluknya. Napasnya tercekat dan untuk sesaat ASndy lupa bagaimana cara bernapas kembali.
“Jung Tae-Woo ssi, kau kenapa?” tanyanya lirih.
Jung Tae-Woo masih tetap memeluknya. “Padahal kita baru bertemu kemarin, kenapa rasanya seolah sudah lama sekali aku tidak melihatmu?” gumam laki-laki itu.
Sandy cuma tertawa kecil. “Bukankah kau tadi bilang kau belum makan?”
Tiba-tiba Jung Tae-Woo melepaskan pelukannya dan memegang bahu Sandy dengan kedua tangannya. “Benar juag. Ayo, temani aku makan di luar.”
“Sebentar.” Sandy menahannya. Apakah ia harus memberitahu Jung Tae-Woo tentang Lisa?
“Ada apa?” tanya Jung Tae-Woo.
Memang sebaiknya dikatakan. Tapi bagaimana caranya? Apakah harus sekarang? Tidak, ia harus berpikir dulu. Ia harus memikirkan kata-katanya. Ia akan memberitahu Jung Tae-Woo, tapi tidak sekarang.
“Tidak apa-apa,” jawab Sandy akhirnya. “Baik, kutemani kau makan di luar.”
Samar-samar Sandy mendengar bunyi sirene, seperti sirene ambulans atau mobil polisi. Bukan, bukan bunyi sirene. Itu bunyi bel pintunya. Sandy membalikkan tubuh dan berusaha membuka mata. Ia melirik jam kecil di samping tempat tidurnya. Siapa yang datang sepagi ini?
Sandy memaksa dirinya bangkit dari tempat tidur dan dalam keadaan setengah sadar, ia berjalan terhuyung-huyung ke pintu dan membukanya.
“Oh, Young-Mi?” katanya setelah melihat siapa yang berdiri di depan pintu. Ia mundur selangkah agar temannya bisa masuk.
142
Tanpa berkata apa-apa, Young-Mi menerobos masuk. Sandy agak heran melihat sikap temannya. Ia menutup pintu kembali dan masuk menyusul temannya.
Young-Mi berdiri tegak di tengah-tengah ruangan. Wajahnya serius sekali.
“Young-Mi, ada apa?” tanya Sandy hati-hati.
Young-Mi membuka tas dan mengeluarkan beberapa lembar kertas. Ia memutar tubuhnya menghadap Sandy.
“Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan,” kata Young-Mi. Ia menyodorkan kertas-kertas itu kepada Sandy. “Tolong jelaskan apa maksud semua ini.”
Sandy mengerutkan kening dan menerima kertas-kertas itu dari tangan Young-Mi. Begitu membaca kertas pertama, tubuhnya menjadi kaku.
“Aku mendapat artikel itu dari internet dan aku mencetaknya,” kata Young-Mi.
Sandy meletakkan tangan di dahinya. Kalimat-kalimat artikel itu berputar-putar dalam benaknya, membuat kepalanya berdenyut-denyut.
...Siapa sebenarnya Han Soon-Hee? Kekasih Jung Tae-Woo atau seseorang yang ingin membalas dendam? ... Han Soon-Hee adalah adik penggemar Jung Tae-Woo yang meninggal dunia saat jumpa penggemar empat tahun lalu... Apa maksudnya mendekati Jung Tae-Woo? ... Membalas dendam atas kematian sang kakak... Jung Tae-Woo sudah tahu? Atau tidak... Sekadar menebus dosa? ... Rasa kasihan...
Ada juga foto dirinya. Jelas sekali. Foto ini... Sandy ingat, pasti diambil ketika ia bertemu dua gadis penggemar Jung Tae-Woo di tengah jalan. Saat itu ia merasa mereka memegang ponsel. Ternyata mereka memang sedang memotretnya saat itu. Mereka memotretnya dan mencari tahu tentang dirinya.
“Soon-Hee, apa artinya itu?” tanya Young-Mi.
Sandy menggeleng. “Dari mana mereka tahu semua ini?”
Young-Mi mencengkeram bahu Sandy dan mengguncangnya. “Maksudmu semua ini benar?”
Sandy menatap Young-Mi dengan pandangan bingung. “Ya... Tidak... Ya... bukan, tidak.”
“Demi Tuhan, jawab yang benar!” seru Young-Mi.
Sandy terduduk di lantai. Tangannya masih memegang kertas-kertas itu.
Young-Mi menarik napas dan ikut duduk di lantai. “Baiklah,” katanya pelan. “Aku akan bertanya dan kau menjawab.”
Sandy hanya menatap temannya, lalu menatap kertas-kertas di tangannya.
“Benarkah kau punya kakak?” tanya Young-Mi.
Sandy mengangguk.
“Kakakmu penggemar Jung Tae-Woo yang meninggal dunia itu?”
Sandy mengangguk lagi dan mendengar napas Young-Mi tercekat.
143
“Kenapa selama ini kau tidak pernah menceritakannya padaku? Selama ini aku berpikir kau anak tunggal.”
“Tapi, Young-Mi, yang tertulis di artikel ini... tentang balas dendam... itu tidak benar. Aku tidak punya maksud seperti itu. Kau harus percaya padaku,” kata Sandy panik.
“Tentu saja aku percaya padamu,” kata Young-Mi. “Sekarang masalahnya bukan itu. Para penggemar Jung Tae-Woo sangat marah, kau tahu? Di setiap website Jung Tae-Woo ada artikel-artikel semacam ini, juga komentar-komentar yang tidak enak. Ini bisa jadi skandal besar, Soon-Hee. Dan kau sekarang sudah bukan orang asing lagi. Wajahmu sudah terpampang di internet. Sebentar lagi juga akan terpampang di tabloid-tabloid. Kau akan dikejar-kejar wartawan, Soon-Hee.”
Sandy merasa kepalanya berputar. Apa yang sudah dilakukannya?
“Jung Tae-Woo sudah tahu tentang kakakmu?”
Sandy tertegun. Jung Tae-Woo. Laki-laki itu tidak tahu apa-apa. Ia belum sempat... Sandy bergegas bangkit dan meraih ponselnya.
“Jung Tae-Woo belum tahu?”
Sandy mendengar Young-Mi bertanya, tapi ia tidak menjawab. Ia menekan tombol ponselnya dengan tangan gemetar, lalu menempelkannya di telinga. Tidak aktif. Ponsel Jung Tae-Woo tidak diaktifkan. Sandy mencoba nomor telepon rumahnya. Tidak diangkat juga.
Ia menutup ponselnya dengan gerakan lambat. Kepalanya terasa berat. Bagaimana sekarang? Ia menarik napas panjang, lalu berjalan cepat ke arah lemari pakaiannya.
“Soon-Hee, kau mau ke mana?” tanya Young-Mi.
“Aku harus bertemu dengannya,” kata Sandy sambil menarik jaketnya dari dalam lemari.
Tae-Woo duduk di depan komputernya dengan kepala tertunduk. Pagi ini ia terbangun dengan perasaan bahagia. Saat itu entah kenapa ia merasa tidak nyaman dengan perasaan seperti itu, seakan-akan perasaan bahagia tersebut tidak akan bertahan lama. Ternyata memang terbukti. Pagi-pagi sekali Park Hyun-Shik sudah menelepon, menyuruhnya membuka komputer, dan masuk ke sebuah website.
Tae-Woo membaca artikel-artikel yang tertera di website itu. Apakah itu benar? Penggemarnya yang meninggal dunia empat tahun lalu itu kakak Sandy? Saat ini ia baru menyadari hal-hal kecil yang dulu membuatnya heran, tapi saat itu ia tidak benar-benar memperhatikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar