“Lalu bagaimana?”
“Kita pesan pizza saja,” usul Sandy cepat. “Sudah lama aku tidak makan pizza. Oke?”
“Sakit tenggorokan malah mau makan pizza?” tanya Jung Tae-Woo. “Kau makan bubur saja.”
“Tenggorokanku sudah sembuh,” protes Sandy.
“Kapan kau akan membawaku menemui ibumu?”
Tae-Woo mengangkat kepala dan menatap gadis yang sedang menggigit potongan pizza di hadapannya itu dengan kaget. Lalu Sandy tertawa dan berkata, “Bercanda. Tidak usah bingung begitu.”
Tae-Woo kembali memakan pizza-nya tanpa berkata apa-apa.
“Bulan lalu sewaktu kau ke Amerika, apakah kau pergi untuk mengunjungi orangtuamu?” tanya Sandy sambil lalu.
“Bagaimana kau bisa tahu aku pergi ke Amerika bulan lalu?” Tae-Woo balik bertanya.
Sandy mengedikkan bahu. “Semua orang juga tahu,” katanya. “Di masa sekarang ini, tidak ada yang bisa disembunyikan selebriti. Orang-orang punya banyak cara untuk mencari tahu. Dari hal-hal yang mendasar, misalnya soal ibumu yang penulis, ayahmu komponis, dan soal mereka tinggal di Amerika Serikat, sampai ukuran bajumu dan jam berapa kau tidur di malam hari.”
“Benarkah?” Tae-Woo tersenyum dan menambahkan, “Jadi menurutmu tidak ada yang tidak diketahui orang-orang tentang aku?”
Sandy terdiam sebentar untuk berpikir. Lalu, “Eh, ada,” kata Sandy tegas.
“Apa?”
Sandy tersenyum bangga dan menjawab, “Orang-orang tidak tahu kau mengenalku.”
Ah, dia benar. Mereka berdua punya rahasia. Entah kenapa hal ini membuat Tae-Woo senang.
“Ada yang ingin kutanyakan padamu,” kata Tae-Woo tiba-tiba.
Sandy menatapnya, menunggu kata-katanya.
“Aku ingin tahu siapa orang yang meneleponmu tadi,” kata Tae-Woo. Ia melihat raut wajah Sandy berubah maka ia cepat-cepat menambahkan, “Jangan katakan lagi dia itu teman dan jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan.”
Sandy membuka mulut dan menutupnya kembali. Tae-Woo menyadari gadis itu bimbang.
66
“Dia mantan pacarmu yang pernah kauceritakan?” tanya Tae-Woo hati-hati.
Sandy menarik napas panjang dan mengembuskannya. Lalu ia mengangguk.
Tae-Woo tiba-tiba merasa tidak bersemangat. Ia bertanya lagi, “Untuk apa dia meneleponmu lagi setelah apa yang dilakukannya padamu?”
Sandy mengangkat bahu. “Entahlah. Aku juga tidak mengerti. Dia hanya mengajak ngobrol, makan, dan hal-hal kecil seperti itu.”
Tae-Woo tidak menyadari suaranya bertambah keras. “Lalu kenapa kau masih mau menemuinya?”
Sandy sampai menatapnya heran. “Kurasa aku… aku… entahlah.”
Tae-Woo bisa melihat Sandy agak bingung menjawab pertanyaannya.
“Lagi pula… memangnya setelah berpisah harus bermusuhan?” kata Sandy akhirnya.
“Sampai sekarang… kau masih menyukainya?” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Tae-Woo tanpa bisa dicegah. Lalu tanpa disadarinya, tubuhnya menegang menunggu jawaban gadis itu.
Sandy terlihat ragu-ragu, lalu akhirnya menjawab, “Mungkin.”
“Apa?”
Sandy menatapnya dengan agak bingung. “Mungkin,” katanya sekali lagi. “Mungkin aku memang masih punya perasaan terhadapnya. Entahlah.”
Mendadak Tae-Woo merasa susah bernapas. Matanya tertuju ke meja tapi tatapannya kosong. Pikirannya juga kosong.
Lalu ia mendengar suara Sandy lagi. “Ini masalah pribadiku dan tidak ada hubungannya denganmu dan Paman. Tidak perlu cemas. Aku berjanji tidak akan mengatakan apa pun mengenai kalian berdua pada orang itu. Aku orang yang bisa membedakan masalah pribadi dengan pekerjaan.”
Tae-Woo tertawa masam. “Begitu?”
“Ada yang ingin kutanyakan padamu,” kata Sandy tiba-tiba.
Tae-Woo menatap wajah gadis itu berubah serius, “Apa?”
Sandy tidak menatap Tae-Woo, tapi memandang pizza di tangannya. “Kejadian empat tahun lalu… Bisa kauceritakan?”
Tae-Woo tertegun. Ia tidak menyangka Sandy akan menanyakan hal itu.
Sandy meliriknya sekilas dan menambahkan, “Aku hanya ingin mendengar ceritanya dari sisimu… kalau kau tidak keberatan.”
Entah kenapa Tae-Woo merasa agak gelisah. Sampai sekarang ia masih belum bisa melupakan kejadian tersebut. Kecelakaan yang seakan-akan baru terjadi kemarin.
“Apa yang ingin kauketahui?”
“Semuanya.”
67
Tae-Woo menarik napas dalam-dalam. Pandangannya menerawang. Kata-katanya meluncur pelan dan datar. “Saat itu acara sudah berakhir. Hujan turun. Aku sudah berada di dalam mobil yang menunggu di pintu utama. Para penggemar masih berkerumun di sekeliling mobilku. Mereka berteriak-teriak, berdesak-desakan. Sopirku nyaris tidak bisa menjalankan mobil. Para petugas keamanan juga kewalahan membuka jalan agar mobil bisa lewat. Akhirnya mereka berhasil menahan para penggemar. Mobil pun mulai bergerak. Pelan, tidak cepat, karena aku masih melambaikan tangan kepada para penggemar. Lalu hal itu terjadi begitu saja.”
Tae-Woo mengernyitkan dahi mengingat saat-saat itu.
“Mobil direm mendadak. Ketika aku bertanya pada sopirku apa yang terjadi, dia berkata salah seorang penggemarku tertabrak. Seperti mimpi buruk. Semua orang jadi panik dan gadis itu cepat-cepat dilarikan ke rumah sakit. Kami tidak diizinkan melihatnya karena dokter harus melakukan pemeriksaan di ruang gawat darurat.
“Aku sendiri tidak tahu pasti bagaimana kejadian sesungguhnya, tapi menurut beberapa saksi mata, para penggemar saling mendesak dan gadis ini terdorong jatuh ke depan tepat ketika mobilku lewat. Walaupun mobil tidak melaju kencang, kepala gadis itu membentur aspal sehingga…”
Tae-Woo mendengar napas Sandy tersentak. Namun ketika mengangkat wajah, ia melihat gadis itu mengangguk kecil, meminta Tae-Woo melanjutkan cerita. Apa yang ada dalam benak gadis itu? Tae-Woo ingin tahu.
Masih dengan agak enggan, Tae-Woo melanjutkan, “Kudengar gadis itu bukan dari Seoul. Ia datang dari jauh untuk… Aku bahkan tidak sempat menjenguknya di rumah sakit karena ia langsung dibawa pulang entah ke mana. Kami hanya bisa menyampaikan ucapan turut berdukacita melalui media.”
Sandy hanya diam.
“Bagaimana menurutmu?”
Sandy tersentak dari lamunan. “Eh, apa?”
“Bagaimana menurutmu?” ulang Tae-Woo.
“Oh… entahlah… tapi kurasa… kau tidak salah.”
Tae-Woo menduga Sandy gugup karena tidak tahu apa yang harus dikatakan setelah mendengar cerita itu. Tapi Tae-Woo merasa sikap itu lebih baik daripada berpura-pura memahami perasaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar