Tae-Woo ingat, saat itu mereka sedang makan daging panggang di rumah Hyun Shik Hyong. Hyun-Shik Hyong memberitahu gadis itu tentang jumpa penggemar Tae-Woo. Sandy kelihatan kaget lalu terbatuk-batuk, lalu ia bertanya, “Jumpa penggemar? Seperti yang dulu?”
Kemudian ketika ia meminta bantuan Sandy memilihkan hadiah untuk penggemarnya, gadis itu mengusulkan bros. Ketika Tae-Woo mengatakan ia sudah pernah memberikan bros untuk penggemarnya, gadis itu berujar, “Aah, benar juga.”
Sandy juga pernah bertanya padanya tentang kecelakaan empat tahun lalu itu. Saat itu wajahnya agak pucat, Tae-Woo baru menyadarinya sekarang. Ia juga berkata, “Kurasa... kau tidak salah.”
Tae-Woo juga teringat pada kata-kata manajernya dulu. Park Hyun-Shik pernah berkomentar bahwa ia merasa aneh Sandy tidak meminta imbalan apa pun untuk berfoto dengannya dan berpura-pura menjadi kekasihnya.
Tae-Woo mengusap wajah dengan kedua tangannya, matanya menatap layar komputer. Apakah Sandy sungguh ada hubungannya dengan penggemarnya yang meninggal itu? Apakah gadis itu ingin membalas dendam? Tidak, tidak mungkin. Sandy sudah berkata kecelakaan itu bukan kesalahannya.
Tidak, ia tidak bisa duduk saja. Apa yang sedang ditunggunya? Ia harus menemui Sandy. Ia harus bicara dengannya. Bicara apa? Ia tidak tahu. Ia tidak bisa berpikir. Yang pasti, ia harus bertemu gadis itu.
Tepat pada saat Tae-Woo bangkit dari kursi, telepon rumahnya berdering. Ia membiarkan mesin penjawab telepon yang menerimanya. Ia meraih kunci mobilnya dan baru akan keluar dari pintu ketika terdengar suara manajernya di mesin penjawab telepon.
“Tae-Woo, tolong angkat teleponnya. Aku tahu kau ada di sana. Tae-Woo!”
Tae-Woo hanya bergeming menatap mesin penjawab telepon.
“Mereka ingin bertemu denganmu. Kau harus datang kemari.”
Tae-Woo tahu siapa “mereka” yang dimaksud Park Hyun-Shik. Para produser dan agennya.
Ia mengangkat gagang teleponnya dan berkata, “Aku ingin bertemu dengannya dulu. Setelah itu aku baru ke sana.”
Seperti yang sudah diduganya, banyak wartawan sudah menunggu di depan rumah. Ia bisa mendengar mereka berteriak-teriak memanggilnya dari depan pagar. Tae-Woo langsung masuk ke mobil, membuka pagar rumah dengan remote control, dan melesat pergi tanpa menghiraukan wartawan-wartawan itu. Ia tidak bisa memberi komentar apa pun. Tidak sebelum ia bertemu Sandy.
145
Belum begitu jauh meninggalkan rumah, Tae-Woo melihat seorang gadis sedang berlari ke arahnya. Sandy. Gadis itu sedang berlari menuju rumahnya.
Sandy berlari secepat mungkin. Ia berlari menyusuri jalan menuju rumah Jung Tae-Woo. Ia harus bertemu laki-laki itu. Ia harus menjelaskan semuanya. Sebentar lagi sampai. Tiba-tiba ia melihat mobil merah melaju ke arahnya. Mobil Jung Tae-Woo. Ia berhenti berlari, berusaha mengatur napasnya yang terengah-engah. Pasti Jung Tae-Woo juga sudah melihatnya, karena mobil itu langsung berhenti tepat di sampingnya.
Sandy melihat jendela mobil diturunkan. Jung Tae-Woo menatapnya dari balik kacamata gelapnya. Sandy tidak mampu berkata apa-apa karena masih berusaha mengatur napas.
“Masuklah,” kata Jung Tae-Woo. “Ada banyak wartawan di belakang.”
Sandy menurut.
Sepanjang perjalanan, mereka tidak berbicara. Jung Tae-Woo tetap menatap lurus ke depan. Sandy ingin memulai percakapan, tapi tidak tahu harus memulai dari mana. Dari sikap diam Jung Tae-Woo, Sandy yakin laki-laki itu sudah tahu tentang artikel di internet itu. Apakah Jung Tae-Woo marah? Entahlah. Sandy melirik Jung Tae-Woo dengan hati-hati. Sulit melihat ekspresinya dari balik kacamata gelap. Akhirnya Sandy memilih diam dulu.
Mobil Jung Tae-Woo terus melaju ke arah luar kota. Sandy memperkirakan mereka sedang menuju pantai. Ternyata memang benar. Akhirnya Jung Tae-Woo menghenti-kan mobil di pinggir jalan yang sepi. Di sebelah kanan mereka terbentang laut luas. Di sebelah kiri mereka terdapat beberapa rumah makan.
Sandy duduk tegang sementara Jung Tae-Woo mematikan mesin mobilnya. Dari sudut matanya, ia melihat Jung Tae-Woo membuka kacamata gelapnya namun tetap memakai topi. Laki-laki itu menarik napas panjang dan melepaskan sabuk pengaman. Kemudian ia membuka pintu mobil dan keluar.
“Keluarlah,” katanya pada Sandy.
Sandy melepaskan sabuk pengaman perlahan-lahan. Otaknya terus menyusun kata-kata yang ingin diutarakannya pada Jung Tae-Woo. Ia keluar dari mobil dan mengham-piri Jung Tae-Woo yang berdiri dan setengah bersandar pada bagian depan mobil, memandang laut.
Sandy berdiri di sampingnya. Ia ingin membuka mulut, tapi tidak ada suara yang keluar. Ia tidak suka melihat Jung Tae-Woo yang pendiam seperti ini.
“Maaf,” gumam Jung Tae-Woo.
Sandy menoleh ke arahnya. Apa yang dikatakannya tadi? Maaf?
146
Jung Tae-Woo masih tetap memandang ke laut. Ia mengembuskan napas. “Maafkan aku,” katanya sekali lagi. Nada suaranya lemah, seakan-akan ia tidak bisa mengucap-kan kata-kata yang lain lagi. “Maafkan aku.”
Sandy mengerutkan kening karena heran. “Minta maaf untuk apa?” tanyanya.
Jung Tae-Woo menoleh ke arahnya, tersenyum samar. “Mengenai kakakmu,” katanya. “Maafkan aku.”
Hati Sandy terasa seolah diremas. Kenapa Jung Tae-Woo yang harus meminta maaf? Justru ia sendiri yang ingin meminta maaf karena tidak menceritakan hal ini sejak awal.
“Tidak,” gumam Sandy. “Untuk apa minta maaf? Kau tidak salah.”
“Jadi, artikel itu benar?” tanya Jung Tae-Woo lagi.
Sandy tidak suka mendengar nada suara Jung Tae-Woo yang seperti itu. Laki-laki itu kelihatan sedih, putus asa, kecewa.
Sandy menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. “Benar, dulu aku punya kakak perempuan. Benar, dia meninggal empat tahun lalu. Dan benar, dia meninggal setelah menghadiri acara jumpa penggemar itu.”
Kepala Jung Tae-Woo tertunduk. Mereka terdiam sejenak, lalu Jung Tae-Woo bertanya pelan, “Kukira kau anak tunggal.”
Sandy menoleh ke arah Jung Tae-Woo, lalu kembali menatap laut. Kata-katanya mengalir lancar. “Sebelum ibuku menikah dengan ayahku, ibuku pernah menikah dengan sesama orang Indonesia. Lisa anak hasil pernikahan ibuku dengan suami pertamanya. Tapi ketika Lisa berusia dua tahun, ayahnya meninggal dunia. Dua tahun kemudian, ibuku menikah dengan ayahku. Aku lahir. Ketika usiaku sepuluh tahun, kami sekeluarga pindah ke Seoul. Lisa tidak ingin ikut, jadi ia tetap tinggal di Jakarta bersama neneknya. Walaupun begitu, hubungan kami sangat baik. Ia sering datang ke Seoul, tapi tidak pernah bisa berbahasa Korea.
“Empat tahun yang lalu, ia datang ke Seoul untuk menghadiri jumpa penggemarmu. Dia salah satu penggemar terbesarmu. Selalu membicarakan dirimu. Kadang-kadang aku bosan mendengarnya. Aku tidak mengerti kenapa dia sangat mengidolakan Jung Tae-Woo. Sebelum pergi ke acara itu, dia terus berusaha mengajakku menemaninya ke acara jumpa penggemar itu, tapi aku tidak mau. Katanya aku akan rugi karena tidak mengenal Jung Tae-Woo, tidak mendengar Jung Tae-Woo menyanyi.
“Aku ingin kau mengerti aku tidak menyalahkanmu.” Sandy menatap Jung Tae-Woo. Laki-laki itu juga sedang menatapnya. “Karena itu aku tidak pernah punya dendam terhadapmu. Mungkin awalnya kau sempat heran kenapa aku bersedia membantumu, kenapa aku bersedia terlibat dalam urusanmu. Saat itu aku hanya ingin
147
mengenal dirimu, mengenalmu lebih baik. Aku ingin tahu kenapa kakakku sangat menyukaimu. Aku berpikir, bila aku bisa memahami alasan kakakku menyukaimu, aku akan merasa lebih memahaminya dan perasaanku akan membaik. Hanya itu.”
Sandy memalingkan wajah. “Seharusnya kuceritakan lebih awal. Maafkan aku.”
Jung Tae-Woo memasukkan kedua tangan ke saku celana. “Lalu,” katanya, “apakah kau sudah bisa memahami kakakmu?”
Sandy tersenyum samar. Jung Tae-Woo menanyakan pertanyaan yang tepat. Apakah ia sudah bisa memahami Lisa? Apakah ia sudah menemukan jawaban kenapa Lisa sangat menyukai Jung Tae-Woo?
“Kurasa belum,” jawabnya.
“Belum?”
Sandy menoleh memandang Jung Tae-Woo. Laki-laki itu juga sedang menatapnya dengan raut wajah yang susah ditebak artinya.
“Kurasa aku tidak akan pernah bisa memahaminya,” Sandy melanjutkan, “karena menurutku apa yang kurasakan berbeda dengan apa yang Lisa rasakan.”
Dahi Jung Tae-Woo berkerut tidak mengerti.
Sepertinya rasa suka yang dirasakan Lisa terhadapmu berbeda dengan rasa suka yang kurasakan terhadapmu, kata Sandy dalam hati. Matanya menatap mata Jung Tae-Woo lurus-lurus.
Kerutan di dahi Jung Tae-Woo perlahan-lahan menghilang. Ketika baru akan mengatakan sesuatu, ponselnya berbunyi. Ia mengeluarkan ponselnya dengan cepat.
“Halo? ... Mm... Aku mengerti.”
Jung Tae-Woo hanya mengucapkan kata-kata pendek itu, lalu menutup flap ponselnya kembali.
“Dari Paman Park Hyun-Shik?” tanya Sandy.
Jung Tae-Woo melihatnya sekilas, lalu mengangguk. “Mm.”
“Kau disuruh menemuinya, bukan?”
Jung Tae-Woo tidak menjawab.
“Mungkin... Apakah menurutmu sebaiknya kita tidak saling bertemu dulu untuk sementara? Maksudku, karena ada masalah seperti ini. Kurasa kita berdua juga perlu... berpikir.”
Jung Tae-Woo mengembuskan napas keras-keras, tapi tidak berkata apa-apa.
Mereka berdua kembali terdiam beberapa saat. Masing-masing menikmati keheningan yang hanya diselingi deburan ombak. Entah kenapa ada sepercik perasaan damai ketika itu. Kalau boleh, Sandy ingin waktu berhenti saat itu juga. Ia ingin menikmati kesunyian itu, perasaan damai itu, dan suara laut yang menenangkan
148
dengan Jung Tae-Woo di sampingnya. Tapi tentu saja itu tidak mungkin. Cepat atau lambat mereka harus menghadapi kenyataan.
“Sebaiknya kita kembali saja sekarang,” kata Sandy akhirnya.
Sandy bergerak, berniat menjauhi mobil, ketika tiba-tiba ia merasa pergelangan tangannya dicekal. Ia menoleh dan melihat Jung Tae-Woo sedang mencengkeram pergelangan tangannya tanpa memandangnya. Mendadak saja ia merasa sulit bernapas.
“Kau tidak usah khawatir,” kata Jung Tae-Woo dengan nada rendah. “Biar aku saja yang menyelesaikan masalah ini. Setelah itu kita akan bicara lagi. Kau... kau mau menunggu sampai saat itu?”
Sandy mengangguk, lalu berkata sekali lag, “Kita kembali saja sekarang...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar