Selasa, 23 Desember 2014

BAB 14

SEJAK hari itu, Sandy mengalami hari-hari biasa. Walaupun juru bicara Jung Tae-Woo sudah meluruskan gosip itu, tentu saja tidak semua pihak menerimanya sebagai kenyataan. Masih saja ada penggemar Jung Tae-Woo yang mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan dan menyebarkannya di internet. Sandy juga tidak bisa berjalan-jalan sendirian di tempat umum lagi. Sekarang banyak orang yang mengenalinya, terlebih lagi remaja-remaja penggemar Jung Tae-Woo. Ada yang bersikap sopan, hanya tersenyum ketika mengenalinya. Tapi ada juga yang kasar, menuduhnya memperalat dan menghancurkan nama baik Jung Tae-Woo, bahkan ada yang menuduhnya memanfaatkan kecelakaan kakaknya sendiri demi mendapatkan Jung Tae-Woo.
Sandy menyadari bahwa yang mengalami masa-masa sulit tidak hanya dirinya sendiri, tapi juga Jung Tae-Woo. Laki-laki itu harus menghadapi mimpi buruknya sekali lagi. Orang-orang kembali membicarakan kecelakaan empat tahun lalu yang melibatkan dirinya dan yang mengakibatkan salah seorang penggemarnya meninggal dunia.
Sejak mereka kembali dari pantai itu, Sandy sama sekali belum berbicara dengan Jung Tae-Woo. Sudah seminggu lebih. Berkali-kali Sandy ingin meneleponnya, tapi kemudian membatalkan niatnya. Ia merasa sebaiknya tidak menghubungi laki-laki itu untuk sementara ini, seperti yang mereka sepakati. Tapi bagaimana ini? Hatinya tidak tenang.
“Miss Han.”
Sandy tersentak dan menoleh. Mister Kim sudah berdiri di sampingnya sambil berkacak pinggang.
“Ya, Mister Kim?” Ia bergegas bangkit dari kursinya.
150
“Apa yang sedang kaupikirkan, Miss Han? Aku sudah memanggilmu ratusan kali,” kata Mister Kim. “Wajahmu juga pucat seperti bulan.”
Sandy menunduk. “Aku minta maaf.”
“Karena Jung Tae-Woo?”
Sandy mengangkat wajahnya dengan kaget. “Oh, Mister Kim, itu—“
Mister Kim mengangkat sebelah tangan untuk menghentikan kata-kata Sandy. “Miss Han, aku tidak percaya pada gosip-gosip yang beredar. Aku percaya padamu. Do you understand that?”
Sandy terdiam.
Mister Kim berjalan kembali ke meja kerjanya dan duduk di kursinya yang besar. “Tapi kau memang menyukainya, kan?”
Pertanyaan Mister Kim yang langsung dan tiba-tiba itu membuat Sandy tidak bisa berkata apa-apa.
“Kau ingin bertemu dengannya?”
Sandy masih diam.
Ternyata Mister Kim mengartikan sikap diamnya sebagai jawaban “ya”. “Kenapa kau tidak menghubunginya?”
Sandy tersenyum dan menggeleng.
Mister Kim menyandarkan kepala ke kursi. “Benar juga,” katanya. “Dia pasti se-dang banyak urusan sekarang ini. Kalau semuanya sudah diselesaikan, aku yakin dia pasti akan menghubungimu.”
Sandy hanya mengangguk sedikit, lalu keluar dari studio Mister Kim. Ia berjalan ke ruang penerimaan tamu yang saat itu sedang kosong. Ia duduk di sofa dan memandang ke luar jendela kaca yang besar. Banyak mobil yang berlalu-lalang, tapi Sandy tidak benar-benar memerhatikannya. Ia menatap ponsel yang ada dalam genggamannya.
Kalau suatu saat nanti kau rindu padaku, maukah kau memberitahuku? ... Agar aku bisa langsung berlari menemuimu.
Benarkah? Tidak, ia tidak akan mencobanya.
Tiba-tiba ponsel dalam genggamannya berbunyi. Ia menatap layar ponsel dan jantungnya langsung berdebar dua kali lebih cepat. Jung Tae-Woo.
Sandy menempelkan ponselnya ke telinga. “Ya?” Kenapa suaranya terdengar serak?
“Bagaimana kabarmu?”
Mata Sandy terasa panas begitu mendengar suara Jung Tae-Woo.
“Baik-baik saja?” suara Jung Tae-Woo terdengar lagi. Suaranya terdengar ceria, ringan, dan santai.
151
“Mm,” jawab Sandy sambil mengerjapkan mata untuk menghalau air mata. “Bagaimana denganmu?”
“Ingin bertemu denganmu.”
Sandy tidak berkata apa-apa.
Jung Tae-Woo mendesah panjang. “Bagaimana ini? Sudah lama aku tidak melihatmu, tidak mendengar suaramu, rasanya aneh sekali. Sepertinya semua yang kulakukan tidak ada yang benar. Lalu aku berpikir, mungkin kalau aku meneleponmu dan mendengar suaramu, aku akan merasa lebih baik. Sekarang setelah mendengar suaramu, aku memang merasa lebih baik, tapi timbul masalah lain.” Hening sejenak. “Aku jadi semakin ingin melihatmu.”
Tanpa sadar Sandy tersenyum, namun pandangannya mulai kabur.
“Apa aku boleh berpikir seperti itu?”
Sandy mengerjapkan mata, tapi kali ini air matanya tidak bisa dihentikan.
“Bisa membantuku?” tanya Jung Tae-Woo lagi. “Katakan „Jung Tae-Woo, fighting!‟ sekali saja.”
Sandy tertawa kecil dan menghapus air mata dengan telapak tangannya. “Jung Tae-Woo, fighting!” katanya.
Ia mendengar Jung Tae-Woo mendesah puas. “Baiklah, aku akan mengikuti kata-katamu. Aku akan bertahan. Dan kau sendiri, Sandy, fighting!”
Sandy menutup ponsel dengan perlahan. Ya, bertahanlah, Sandy.
“Kau mau ke Jakarta?”
Sandy memandang Kang Young-Mi sambil tertawa kecil. “Kenapa terkejut begitu?”
Mereka berdua sedang mengobrol di kafe langganan ketika Sandy memberitahu Young-Mi ia akan pulang ke Jakarta tiga hari lagi. Ternyata temannya kelihatan lebih terkejut daripada yang disangkanya.
Young-Mi mengempaskan tubuh ke kursi dan mendesah. “Kau sedang melarikan diri?” tuduhnya.
Sandy menggeleng. “Tidak. Melarikan diri dari apa?”
“Dari Jung Tae-Woo,” jawab temannya langsung.
“Astaga, kenapa aku harus melarikan diri dari dia?”
“Lalu kenapa tiba-tiba ingin pulang ke Jakarta?”
Sandy ikut bersandar di kursi. “Hanya ingin berganti suasana. Aku ingin mene-nangkan diri sebentar. Kau tahu sendiri di sini aku tidak akan bisa tenang. Tidak se-belum masalah itu beres. Lagi pula ibuku sudah marah-marah.”
Young-Mi menatap Sandy dengan kening berkerut. “Kenapa marah?”
152
“Tentu saja marah kalau kedua anak perempuannya mendadak jadi bahan pembica-raan tidak enak di tabloid-tabloid, di saat yang sama pula,” jelas Sandy.
“Tapi sebenarnya kau tidak menyalahkan Jung Tae-Woo atas kecelakaan kakakmu itu, kan?” tanya Young-Mi hati-hati.
“Tidak,” jawab Sandy. Ia menghela napas dan menegaskan sekali lagi, “Tidak.”
“Lalu kenapa kau tidak menemuinya?”
“Karena kami perlu waktu untuk berpikir. Walaupun aku tidak menyalahkannya, bagaimanapun pasti ada ganjalan di antara kami. Apalagi aku juga harus memikirkan ibuku.”
Mereka berdua terdiam sejenak, sibuk dengan pikiran masing-masing. Kemudian Young-Mi bertanya, “Berapa lama kau akan tinggal di Jakarta?”
Sandy mengangkat bahu. “Mungkin cuma satu minggu. Mungkin lebih. Entahlah. Yang pasti, aku akan kembali.”
“Kau sudah memberitahu Jung Tae-Woo soal ini?”
Sandy menggeleng. “Apakah perlu?”
“Kurasa itu pertanyaan bodoh.”
Sandy memiringkan kepala. “Aku tidak tahu bagaimana harus memberitahunya.”
“Jangan memintaku melakukannya,” kata Young-Mi begitu melihat tatapan Sandy. “Kau harus mengatakannya sendiri.”
Tae-Woo memeriksa penampilannya di depan cermin. Lima menit lagi ia harus tampil di depan kamera. Hari ini ia akan tampil dalam acara bincang-bincang yang cukup populer. Tentu saja gosip yang paling hangat tentang dirinya akan dikonfirmasi. Tidak apa-apa. Ia sudah siap. Melalui cermin, ia melihat Park Hyun-Shik menghampiri dari belakang. Manajernya menunjuk jam tangan. Tae-Woo mengangguk mengerti.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel. Begitu membaca tulisan yang muncul di layar ponsel, ia tersenyum. Sudah seminggu terakhir ini ia tidak menghubungi gadis itu. Kenapa Sandy tiba-tiba meneleponnya?
“Halo?” katanya begitu ponselnya ditempelkan di telinga.
“Ini aku.” Terdengar suara Sandy di ujung sana.
Tae-Woo tersenyum. “Aku tahu.”
Sandy hanya bergumam tidak jelas, lalu bertanya, “Sedang apa?”
“Sebentar lagi on air,” sahut Tae-Woo sambil melihat ke sekeliling. “Ada apa?”
“Tidak apa-apa. Hanya ingin mendengar suaramu.”
“Begitu?” kata Tae-Woo senang. “Di mana kau sekarang?”
153
“Di bandara.”
Tae-Woo mengerutkan kening. Sepertinya ia salah dengar. “Di mana?”
“Di bandara.”
Ia tidak salah dengar. “Kenapa ada di bandara? Menjemput seseorang?”
“Aku akan pergi ke Jakarta. Aku meneleponmu untuk mengatakan itu.”
Tunggu... Jakarta? Jakarta, Indonesia?
Sepertinya Tae-Woo tanpa sadar telah menyuarakan pikirannya, karena Sandy menjawab, “Ya, aku akan pergi ke Indonesia. Sudah cukup lama aku ingin bertemu orangtuaku.”
“Berapa lama kau akan di sana?” tanya Tae-Woo. Tangannya mendadak terasa lemas.
“Sekitar seminggu,” jawab Sandy cepat. “Hanya untuk liburan.”
“Begitu.”
“Oh, aku harus masuk sekarang. Jaga dirimu.”
Tae-Woo masih dalam keadaan setengah sadar. “Mm... Kau juga,” gumamnya.
Walaupun Sandy sudah memutuskan hubungan, Tae-Woo masih memegangi ponsel di telinganya.
Gadis itu akan pergi. Tae-Woo mendadak merasa tidak bertenaga. Walaupun ia bisa memahami kenapa Sandy ingin pergi ke Jakarta, kenapa Sandy merasa perlu menjauhkan diri dari Korea untuk sementara, tetap saja ia tidak ingin gadis itu pergi. Walaupun sangat ingin pergi ke bandara sekarang, ia tahu sudah tidak ada gunanya. Sandy pasti sudah masuk ke pesawat. Itulah sebabnya kenapa gadis itu tidak memberitahunya lebih awal. Sandy tahu Tae-Woo pasti akan mencegahnya kalau memang bisa. Memikirkan gadis itu akan pergi membuat Tae-Woo cemas. Bagaimana kalau Sandy tidak kembali? Tidak bertemu Sandy beberapa waktu ini saja sudah membuat Tae-Woo agak panik, seperti orang yang kehilangan arah, apalagi sekarang.
“Tae-Woo, ayo, sudah saatnya.”
Tae-Woo menoleh ke manajernya. Ia mengangkat sebelah tangan untuk memberi tanda. Lalu ia mematut dirinya sekali lagi di cermin. Jung Tae-Woo, fighting!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar