ENTAH sudah yang keberapa kalinya Park Hyun-Shik melihat Tae-Woo sedang menelepon. Jadwal kerja Tae-Woo hari ini cukup padat, tapi ia selalu telrihat menelepon setiap kali ada waktu luang. Tanpa perlu bertanya, Park Hyun-Shik tahu siapa yang sedang dihubunginya.
“Tae-Woo, kau mau terus menelepon sampai kapan? Kau harus tampil sebentar lagi,” tegur Park Hyun-Shik sambil menepuk punggung temannya.
Tae-Woo yang sedang duduk di kursi putar dengan kaki terjulur tersentak dan menutup ponselnya. “Oh, Hyong.”
“Ada apa? Kenapa wajahmu kusut begitu?”
“Tidak ada di rumah.” Tae-Woo seakan sedang berbicara pada dirinya sendiri.
Park Hyun-Shik pura-pura tidak tahu siapa yang dimaksud Tae-Woo. “Siapa?”
Tae-Woo mendesah. “Sudah. Lupakan, tidak ada apa-apa.”
“Sebaiknya kau bersiap-siap,” ia mengingatkan Tae-Woo sekali lagi.
Kali ini Tae-Woo menoleh ke arahnya dan bertanya, “Hyong, setelah ini aku tidak punya jadwal kerja lagi, kan?”
Sandy baru saja masuk ke rumah ketika ia mendengar telepon rumah berdering. Ia menutup pintu dan meletakkan kunci di meja. Harus diangkat atau tidak? Bagaimanapun ini rumah Jung Tae-Woo dan ia tidak bisa sembarangan menjawab teleponnya. Akhirnya ia membiarkan mesin penjawab telepon yang menerima.
“Kalau kau ada di rumah, angkat teleponnya.”
102
Sandy kaget mendengar suara Jung Tae-Woo di mesin. Ia cepat-cepat mengangkat telepon. “Halo?”
“Akhirnya kau menjawab juga. Aku sudah mencoba menghubungimu sejak tadi.” Suara Jung Tae-Woo terdengar agak jengkel.
Sandy melirik jam tangannya. “Oh, aku tidak sadar sudah sore. Ada apa mencariku? Ada yang harus kulakukan?”
“Tidak juga.”
“Lalu kenapa?”
“Hanya ingin tahu keadaanmu.”
Sandy tersenyum sendiri. “Aku baik-baik saja. Sekarang kau di mana?”
“Di jalan. Aku akan pulang sebentar lagi.”
“Mmm, kau mau kubuatkan makan malam?” tanya Sandy sambil menimbang-nimbang. “Aku memang tidak bisa memasak, tapi aku bisa membuat bibimbab* atau…”
Ia mendengar Jung Tae-Woo tertawa di ujung sana. “Aku belum seberani itu untuk mencoba masakan orang yang mengaku tidak bisa memasak.”
“Aku hanya ingin berterima kasih padamu,” protes Sandy.
“Sudahlah, tidak usah. Hari ini kita makan di luar saja. Aku yang traktir.”
“Makan di luar? Kau ini bagaimana? Kau ingin orang-orang melihat kita?”
“Kalau dilihat pun kenapa? Bukankah kemarin wartawan sudah terlanjur tahu siapa dirimu?”
Sandy tepekur. Benarkah hal itu baru terjadi kemarin? Kenapa sepertinya sudah lama sekali?
“Sebentar lagi wajahmu akan terpampang jelas di tabloid. Apa lagi yang bisa disembunyikan? Seluruh Korea akan tahu kau kekasihku. Apakah aku tidak boleh makan malam dengan kekasihku sendiri?”
Sandy merasa jantungnya seakan berhenti berdegap dan napasnya tertahan. Apa yang terjadi pada dirinya?
“Halo? Sandy, kau masih di sana?”
Sandy tersentak. “Ya… ya.”
“Ya sudah, aku tutup dulu.”
Perlahan Sandy meletakkan telepon. Ada apa dengannya? Ketika tadi Jung Tae-Woo berkata…
Sandy menepuk pipi dengan kedua tangannya. “Sandy, sadarlah,” katanya pada dirinya sendiri. “Banyak hal yang lebih penting yang harus kaupikirkan.”
* * *
*Nasi campur khas Korea dengan berbagai macam sayuran dan bumbu lada merah kental.
103
“Jung Tae-Woo ssi, kau serius mau makan di sini?” Sandy tahu suaranya terdengar khawatir.
Ia dan Jung Tae-Woo sedang berada di dalam lift yang membawa mereka ke lantai teratas gedung hotel itu. Setelah tahu Jung Tae-Woo akan mengajaknya makan malam di restoran hotel mewah, ia tidak bisa menekan rasa cemas di hatinya.
“Memangnya kenapa?” tanya Jung Tae-Woo tanpa menatap Sandy.
Sandy merentangkan tangan. “Lihat pakaianku. Aku tidak bisa masuk ke restoran itu. Bisa-bisa aku diusir.” Ia hanya mengenakan kemeja lengan pendek dan celana panjang jins milik Young-Mi.
“Siapa yang berani mengusirmu?” tukas Jung Tae-Woo. “Tidak ada yang salah dengan pakaianmu. Ayo, masuk.”
Pintu lift terbuka dan tanpa menunggu komentar Sandy lebih lanjut, Jung Tae-Woo berjalan sambil menarik tangan gadis itu. Mereka masuk ke restoran dan segera disambut salah satu pelayan yang langsung mengantarkan mereka ke meja untuk berdua di dekat jendela kaca besar. Restoran itu cukup sepi, lampu-lampunya menyala redup menciptakan suasana remang-remang. Selain suara percakapan yang sepertinya dilakukan dengan berisik, terdengar alunan lembut musik jazz. Tidak banyak tamu yang terlihat dan itu bukan hal yang mengherankan. Tentunya hanya orang-orang dari kalangan kelas ataslah yang bisa makan di tempat seperti ini.
“Wah, bagus sekali,” Sandy bergumam senang ketika melihat ke luar jendela. Pemandangan malam kota Seoul dari ketinggian memang menakjubkan. “Kita ada di lantai berapa ya? Tinggi sekali.”
“Ah, aku lupa,” kata Jung Tae-Woo tiba-tiba.
Sandy menoleh ke arahnya dengan pandangan bertanya-tanya.
“Kau tunggu di sini sebentar. Aku harus mengambil sesuatu,” kata Jung Tae-Woo sambil bangkit dari kursi.
“Oke. Jangan lama-lama,” sahut Sandy. Lalu ia kembali mengagumi kerlap-kerlip cahaya lampu kota Seoul di bawah sana.
Beberapa menit berlalu dan Jung Tae-Woo belum kembali. Sandy mendesah dan memandang ke sekeliling ruangan. Akhirnya ia bangkit dan berjalan ke toilet. Ketika Sandy keluar dari toilet dan sedang berjalan kembali ke mejanya, ia mendengar seseorang memanggil namanya. Sandy berbalik mengikuti sumber suara dan melihat wanita cantik bertubuh langsing dan tinggi sedang melambai ke arahnya sambil tersenyum lebar. Perasaan Sandy langsung tidak enak begitu melihat wanita itu. Perasaannya pun bertambah berat seiring langkah yang diambil wanita itu untuk mendekati dirinya.
104
“Wah, Han Soon-Hee. Apa kabar? Aku tidak menyangka bisa berjumpa denganmu di sini,” sapa wanita itu dengan ramah, tapi bagi telinga Sandy keramahan itu terdengar dibuat-buat, sama seperti senyumnya.
Sandy hanya tersenyum samar. “Apa kabar, son-bae*? Lama tidak bertemu.”
Jin Da-Rae mengibaskan rambut panjangnya dan berkata, “Jeong-Su ssi akan ke sini sebentar lagi. Kau sendirian?” Namun tanpa menunggu jawaban Sandy, Jin Da-Rae meneruskan, “Kebetulan aku bertemu denganmu, ada yang ingin kubicarakan.”
Sandy diam saja, berdiri bergeming, dan menunggu kata-kata selanjutnya.
Jin Da-Rae menatap Sandy dalam-dalam. “Aku sudah mendengar tentang apartemenmu yang terbakar dari Jeong-Su ssi. Aku senang kau selamat. Tapi aku agak mengkhawatirkan Jeong-Su ssi.”
Alis Sandy terangkat kaget. Apa yang sedang dia bicarakan?
“Aku tidak suka berputar-putar, jadi aku akan bicara langsung saja. Aku melihat Jeong-Su ssi ikut cemas karena kejadian yang kaualami. Padahal seharusnya ia tidak perlu repot-repot seperti itu karena kau baik-baik saja. Ya, kan? Bagaimanapun juga hubungan kalian sudah lama berakhir. Masalahmu sudah bukan masalahnya lagi.”
Sandy tersenyum pahit. “Son-bae—“
“Oh, Soon-Hee.”
Sandy menoleh dan melihat Lee Jeong-Su menghampiri mereka. Ia mendesah dan berpikir kenapa kedua orang itu bisa datang ke tempat ini pada saat yang sama dengan dirinya.
“Kau baik-baik saja, kan?” tanya Lee Jeong-Su sambil menatap Sandy dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Sandy merasa risi diamati seperti itu, apalagi Jin Da-Rae juga sedang menatapnya tajam.
“Kau lihat sendiri, dia tidak apa-apa,” sela Jin Da-Rae sambil menyelipkan lengannya ke lengan Lee Jeong-Su. “Benar, bukan, Soon-Hee?”
Sandy meringis. “Ya, seperti yang bisa kalian lihat.”
“Kau sekarang tinggal di mana?” tanya Lee Jeong-Su lagi dan Sandy melihat air muka Jin Da-Rae langsung berubah.
“Di rumah teman,” jawab Sandy pendek.
“Oh ya, kau sendirian? Bagaimana kalau bergabung dengan kami?” tanya Jeong-Su mengalihkan pembicaraan.
Astaga. Apakah kedua orang itu sungguh-sungguh berpikir ia sudah begitu putus asanya sampai memutuskan untuk datang ke restoran semewah ini sendirian?
* kakak kelas.
105
Jin Da-Rae menarik lengan Lee Jeong-Su dan cepat-cepat menyela, “Tadi Soon-Hee bilang dia sedang menunggu temannya. Nanti temannya malah merasa tidak enak kalau diajak bergabung karena tidak kenal dengan kita.”
Sandy ingin sekali tertawa keras-keras melihat sikap kakak kelasnya yang seperti anak berumur lima tahun yang tidak mau melepaskan boneka beruang kesukaannya. Kapan ia pernah memberitahu Jin Da-Rae ia sedang menunggu seseorang? Tapi herannya tebakan wanita itu benar. Ia memang sedang menunggu Jung Tae-Woo.
“Maaf, sudah menunggu lama?”
Sandy dan dua orang yang berdiri di hadapannya itu serentak menoleh ke arah sumber suara. Jung Tae-Woo menghampiri Sandy sambil tersenyum lebar dan dengan kedua tangan di belakang punggung. Sandy mendengar sentakan napas Jin Da-Rae. Ada sedikit rasa puas di hati Sandy ketika melihat Jung Tae-Woo muncul, apalagi didukung kenyataan bahwa Jung Tae-Woo artis terkenal.
“Sudah menunggu lama?” tanya Jung Tae-Woo sekali lagi sambil menatap lurus ke arah Sandy, mengabaikan dua orang yang ada di dekatnya.
“Oh, tidak. Tidak lama,” sahut Sandy agak linglung.
“Tadi aku pergi membeli ini,” kata Jung Tae-Woo.
Sandy tercengang melihat seikat besar mawar merah yang disodorkan Jung Tae-Woo ke arahnya.
Setelah Sandy menerima bunga yang disodorkan Jung Tae-Woo, laki-laki itu seakan baru menyadari kehadiran dua orang lain yang melongo memerhatikan mereka. “Oh, maafkan saya. Saya tidak melihat Anda tadi. Apa kabar? Anda teman-teman Sandy, ah, maksudku Soon-Hee?”
Sandy melihat mata Jin Da-Rae berkilat-kilat, tatapannya tertuju lekat pada Jung Tae-Woo. “Anda Jung Tae-Woo ssi, bukan?” tanyanya bersemangat.
“Benar,” kata Jung Tae-Woo ramah. “Dan hari ini saya berencana menikmati makan malam yang romantis.” Ia mengangkat sebelah tangannya dan merangkul bahu Sandy.
Sandy menatap Jung Tae-Woo dengan pandangan terkejut, kemudian matanya ganti memandang dua orang di hadapannya yang juga sedang menatapnya bingung.
“Sepertinya Anda berdua juga ingin menikmati makan malam yang romantis,” Jung Tae-Woo melanjutkan dengan nada ramah seperti tadi. “Kami tidak akan mengganggu acara Anda lebih lama lagi. Senang berjumpa Anda berdua.”
Selesai berkata begitu, dengan masih merangkul bahu Sandy, Jung Tae-Woo menuntunnya kembali ke meja mereka.
“Terima kasih atas mawarnya,” kata Sandy ketika mereka sudah duduk kembali. Ia memandang bunga pemberian Jung Tae-Woo dengan gembira.
“Kau suka?”
106
“Mm, suka sekali.” Sandy menatap Jung Tae-Woo sambil tersenyum. “Kau sering memberikan bunga untuk wanita?”
Laki-laki itu hanya meringis. “Menurutmu begitu?”
“Ngomong-ngomong, memangnya hari ini hari apa?”
“Kenapa?”
“Kita makan di restoran mewah. Lalu mawar ini.” Sandy menatap Jung Tae-Woo sambil berusaha mengingat. “Hari ini hari ulang tahunmu?”
Jung Tae-Woo tertawa. “Kalau aku yang berulang tahun, kenapa aku yang memberimu bunga? Bukankah seharusnya aku yang menerima hadiah?”
Sandy berpikir-pikir lagi. “Kau baru tanda tangan kontrak baru atau semacamnya?”
“Tidak juga.”
“Lalu kenapa?”
Jung Tae-Woo tersenyum lebar. “Nanti kau akan tahu sendiri.”
Sandy memiringkan kepala, lalu mengangkat bahu.
“Laki-laki yang tadi itu mantan pacarmu?” tanya Jung Tae-Woo dengan hati-hati.
Sandy mendesah. “Mm, dan wanita yang bersamanya itu kakak kelasku yang sekarang menjadi pacarnya.”
Jung Tae-Woo menatapnya. “Kau ingin kita pergi ke tempat lain?”
Sandy tertawa. “Untuk apa?”
Jung Tae-Woo masih terlihat kurang yakin.
“Tidak apa-apa,” kata Sandy menenangkan. “Bukankah ada kau yang menemaniku di sini?”
Jung Tae-Woo tersenyum. “Benar, ada aku di sini. Nah, sekarang kau mau makan apa?”
Lee Jeong-Su tidak menikmati makan malamnya. Ia terus-menerus melirik ke arah meja Soon-Hee dan Jung Tae-Woo. Ia berharap gadis itu menoleh ke arahnya, tapi kenyataannya Soon-Hee tidak meliriknya sama sekali. Gadis itu mengobrol dan tertawa gembira dengan Jung Tae-Woo. Tentu saja Jeong-Su sudah pernah membaca tentang hubungan Jung Tae-Woo dengan Soon-Hee, tapi waktu itu ia masih tidak ingin percaya. Hari ini Jeong-Su benar-benar melihat mereka berdua dengan mata kepalanya sendiri dan ternyata memang seperti yang ditulis di tabloid. Ia harus mengakui ia sama sekali tidak ingin melihat mereka berdua bersama.
“Jeong-Su ssi, aku sedang bicara padamu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar