PONSELNYA masih berdering. Sandy ragu apakah ia harus menjawabnya atau tidak. Ia sudah melihat huruf-huruf muncul di layar ponselnya. Dari Mister Kim. Hari ini hari Minggu dan seharusnya Sandy tidak bekerja. Kenapa atasannya menelepon? Tapi Sandy juga tahu kalau teleponnya tidak dijawab, Mister Kim akan terus meneleponnya sampai laut mengering.
Akhirnya ia menyerah dan meraih ponselnya.
“Hha-lho...” Salah satu alasannya malas menjawab telepon adalah karena tenggorokannya sedang sakit dan ia tidak bisa berbicara seperti biasa. Sekarang suaranya nyaris seperti bisikan angin.
Di seberang sana terdengar suara Mister Kim yang melengking. “Astaga, Miss Han. Kenapa suaramu seperti hantu begitu? Aku tahu, aku tahu, hari ini Minggu. Tapi aku harus tetap meneleponmu untuk meminta bantuan. Tolong kauantarkan pakaian untuk Jung Tae-Woo, ya? Kami di sini sibuk sekali. Ya, sibuk sekali. Tidak ada yang sempat membawakan pakaiannya. Tolong ya? Antarkan ke rumahnya. Kau tahu alamat rumahnya? Tentu saja tidak, bodoh sekali aku. Eeh... alamatnya di mana ya? Sebentar, ya... Mister Cha... MISTER CHA! Di mana kutaruh alamat Jung Tae-Woo? Tolong carikan untukku. Miss Han, kembali ke pembicaraan kita tadi. Begini saja, akan kukirim alamat Jung Tae-Woo lewat SMS begitu kutemukan nanti. Kau bisa mengambil pakaiannya dari butik lalu langsung pergi ke rumahnya ya? Thank you very much. Miss Han, kau baik sekali. Bye-bye!”
Sandy mendengar telepon ditutup di ujung sana. Ia sama sekali tidak punya kesempatan bicara. Kalaupun punya kesempatan, ia tidak akan bisa bicara banyak. Ia
59
menarik napas perlahan-lahan dan mengembuskannya perlahan-lahan juga. Mungkin atasannya ini dari dulu sampai sekarang tidak akan bisa berubah. Seenaknya sendiri.
Diktator, pikir Sandy dalam hati sambil melotot kepada ponselnya. Sebaiknya kau menambah gajiku atau aku akan mengundurkan diri. Lihat saja siapa yang mau bekerja untukmu.
Kata-kata ini sudah sering diucapkannya, tapi ia belum pernah benar-benar mengajukan surat pengunduran diri. Walaupun Mister Kim orang yang aneh dan seenaknya, Sandy merasa bisa belajar banyak darinya. Sejak kecil Sandy suka sekali dunia fashion. Jadi, walaupun jalan tidak selalu lancar, ia senang bisa bekerja dengan perancang busana terkenal yang tidak segan-segan mengajarinya banyak hal.
Sandy meneguk teh panasnya lagi dan duduk meringkuk di tempat tidur. Hari memang sudah siang, tapi ia masih segan bangun dari sana. Pagi tadi begitu ia bangun, tenggorokannya terasa sakit dan suaranya mulai serak. Mungkin ini efek segala jeritan dan teriakannya kemarin di acara jumpa penggemar Jung Tae-Woo. Kemarin ia memang menjerit sekuat tenaga bersama-sama ribuan penggemar lain. Entah apa yang diteriakkannya, ia sendiri juga sudah lupa. Ia hanya terus menjerit untuk meramaikan suasana. Akibatnya, hari ini berbisik saja susah!
Sandy baru saja akan terlelap kembali ketika ia teringat perintah Mister Kim. Sambil mendecakkan lidah dengan kesal dan mengumpat-umpat dalam hati, ia bangun dan berganti pakaian.
Sekitar satu setengah jam kemudian, Sandy sudah berdiri di depan pintu rumah Jung Tae-Woo yang berada di kawasan perumahan mewah. Ia hanya bisa terkagum-kagum dalam hati. Malam itu, ketika pertama kalinya datang ke sana, ia tidak begitu memerhatikan sekelilingnya. Saat itu ia kan sedang frustasi. Sekarang Sandy baru bisa melihat jelas bentuk rumah yang tersembunyi di balik pagar besi tinggi itu. Ia membiarkan matanya berpesta sepuasnya.
Rumah berlantai dua itu lumayan besar, dengan tembok putih, beranda yang luas, dan banyak jendela kaca. Sandy menyukai beranda di lantai dua. Ia mengangkat tangan untuk menaungi mata dari sinar matahari dan mendongak memerhatikan rumah itu dengan perasaan senang.
Lalu ia mengulurkan tangan dan memencet bel pintu.
Selanjutnya terdengar suara Jung Tae-Woo dari interkom.
Sandy ragu. Ia berdeham, walaupun tindakan itu tidak membantu sama sekali, memencet tombol interkom, dan menyebutkan namanya dengan suara serak.
“Apa? Siapa? Maaf, suaranya kurang jelas,” suara Jung Tae-Woo terdengar lagi.
60
Sandy mengulangi ucapannya sambil mengerutkan kening. Seharusnya Jung Tae-Woo bisa melihat siapa yang sedang berdiri di depan pintu. Rumah besar seperti ini pasti dilengkapi kamera pengawas. Pasti. Kenapa laki-laki itu harus membuat tenggorokannya bertambah sakit?
“Aku masih tidak mengerti apa yang kauucapkan. Tapi, baiklah. Masuk saja, Sandy.”
Sandy memalingkan wajahnya dan mendengus. Benar, kan? Jung Tae-Woo sudah tahu siapa yang berdiri di depan pintu.
Sambil menjinjing gantungan baju beberapa pakaian yang dibungkus plastik, Sandy melewati pagar besi yang terbuka secara otomatis, lalu mendorongnya sampai menutup dengan kakinya. Ia menaiki anak-anak tangga menuju rumah besar itu.
Jung Tae-Woo sudah menunggu di depan pintu. Laki-laki itu mengenakan kaus longgar kelabu dan celana panjang hitam. Rambutnya agak berantakan karena tidak ditata. Sandy menyadari Tae-Woo menatapnya dari kepala sampai ke kaki, lalu tatapan laki-laki itu kembali ke wajahnya. “Ada apa denganmu? Mana yang sakit?” tanya Jung Tae-Woo tanpa basa-basi.
Sandy menunjuk lehernya.
“Sudah minum obat?” tanya Jung Tae-Woo lagi.
Sandy tersenyum dan mengangguk.
Jung Tae-Woo memandangnya, lalu bertanya, “Kenapa kemari?”
Sandy mengacungkan pakaian-pakaian yang dibawanya. “Misther Kim... coba pakhaian...”
Jung Tae-Woo mengibaskan tangan. “Astaga... Aku tidak tahan mendengar suaramu yang mengerikan itu. Ikut aku, Aku punya obat untukmu. Ayo, masuk.”
Sandy berusaha berbicara, tapi lehernya terlalu menyiksa. Akhrinya ia menurut saja. Bagaimanapun ia tidak bisa melawan kata-kata Jung Tae-Woo dalam keadaan seperti ini. Tunggu saja sampai suaranya kembali seperti semula.
Di dalam rumah, ia melepaskan sepatu dan mengenakan sandal rumah yang ditunjukkan Jung Tae-Woo.
Bagian dalam rumah itu ditata rapi sekali. semua perabot dan hiasan di dalam rumah itu terkesan mewah. Setelah meletakkan pakaian di sofa terdekat, Sandy mengamati foto-foto yang tergantung di dinding. Kebanyakan foto sepasang pria dan wanita setengah baya. Sandy menduga mereka orangtua Jung Tae-Woo. Ada juga beberapa foto Jung Tae-Woo sewaktu kecil, remaja, dan saat ini.
Begitu asyiknya Sandy mengamati foto-foto itu sampai-sampai ia tidak menyadari Jung Tae-Woo sudah berdiri di sampingnya.
61
“Kenapa tiba-tiba sakit tenggorokan? Kemarin bukannya biasa-biasa saja?” tanyanya.
“Kemarinh... jhumpa pengghemar... menjerith,” Sandy berusaha menjelaskan terpatah-patah.
Jung Tae-Woo tertawa. “Ah, jadi karena kemarin kau ikut menjerit-jerit? Anak bodoh. Minum ini,” katanya sambil mengulurkan gelas berisi cairan berwarna cokelat pekat.
Sandy menerimanya dengan bimbang.
“Tidak usah kuatir. Itu bukan obat bius. Minum saja dan sebentar lagi tenggorokanmu akan membaik.”
Sandy menatap Jung Tae-Woo yang berjalan kembali ke dapur. Setelah dengan ragu-ragu meminum cairan itu, yang ternyata lumayan enak, ia kembali melihat-lihat sekeliling ruangan. Ada grand piano putih di ruang tengah yang tidak diingatnya ada di sana ketika pertama kali datang ke rumah itu. Sandy mengelus permukaan piano tersebut dan membuka tutupnya. Ia memang tidak bisa memainkan alat musik, tapi ia suka mendengarkan musik. Ia menekan salah satu tuts piano dan tersenyum sendiri.
“Hei, jangan pegang-pegang sembarangan.”
Sandy mengangkat kepala dan melihat Jung Tae-Woo berjalan menghampirinya. Ia melambai-lambaikan tangan menyuruh Jung Tae-Woo datang sambil menunjuk piano.
“Apa?” tanya Jung Tae-Woo bingung setelah berdiri di dekat piano.
“Mainhkhan,” Sandy berbisik serak sambil menggerak-gerakkan jari tangan seperti sedang bermain piano.
“Kau mau aku main piano?”
Sandy mengangguk dan menarik Jung Tae-Woo supaya duduk di kursi piano.
Jung Tae-Woo duduk dengan enggan dan berkata, “Kau mau bayar berapa?”
“Appha?” tanya Sandy sambil menggerakkan dagu.
“Kau mau bayar berapa untuk permainanku ini?” Jung Tae-Woo mengulangi.
Sandy mendorong bahu laki-laki itu dan menunjuk piano dengan tegas.
“Ya, ya. Aku mengerti,” kata Jung Tae-Woo.
Suara dentingan piano yang lembut mulai terdengar. Sandy berdiri di samping piano, menopangkan dagu di atasnya sambil melihat jemari tangan Jung Tae-Woo menari-nari di atas tuts piano. Ketika alunan nada yang dimainkan laki-laki itu akhirnya berhenti, Sandy bertepuk tangan.
“Bagus sekali!” katanya, lalu memegang leher. “Eh, tenggorokanku sudah tidak terlalu sakit lagi.”
Jung Tae-Woo tersenyum. “Sudah kubilang obatnya manjur.”
“Mainkan satu lagu lagi,” pinta Sandy.
Tiba-tiba terdengar nada dering ponsel. Sandy merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselnya. Raut wajahnya berubah ketika melihat layarnya. Ia segera membuka flap ponsel dan berjalan menjauh dari Jung Tae-Woo agar laki-laki itu tidak mendengar pembicaraannya.
“Halo? Ada apa, Jeong-Su ssi?” Sandy berbicara dengan nada rendah. “Apa? Sekarang? Aku... tidak bisa. Aku sedang... eh...”
“Telepon dari Hyun-Shik Hyong, ya?” seru Jung Tae-Woo keras.
Sandy terlompat kaget dan buru-buru menutup ponsel dengan tangan. Tapi tidak ada gunanya, Lee Jeong-Su sudah mendengar kata-kata itu dengan jelas.
“Soon-Hee, kau sedang bersama seseorang?” tanya Lee Jeong-Su dengan nada curiga.
Sandy membelalak kepada Jung Tae-Woo yang memasang tampang polos tak berdosa, lalu berkata pelan, “Ya. Aku harus pergi. Sudah dulu ya?”
Sandy menutup ponsel dan berkacak pinggang. Jung Tae-Woo sudah gila ya? Kalau memang Paman Park Hyun-Shik yang menelepon, Sandy kan tidak mungkin berbicara dengan suara pelan seperti tadi. Orang aneh!
“Jung Tae-Woo, kau ini kenapa? Kau mau orang-orang tahu tentang kita?” tanya Sandy sambil menatap Tae-Woo yang bangkit dari piano.
Jung Tae-Woo kelihatannya tidak peduli. Ia hanya melewati Sandy dan berkata, “Aku ke kamarku sebentar.”
Sandy memandangi sosok Jung Tae-Woo yang menaiki tangga dengan cepat, lalu menghilang di ujung tangga. Benar-benar orang aneh! Sandy menggeleng dan kembali melihat-lihat rumah Jung Tae-Woo. Jarang ada orang yang bisa masuk ke rumah artis. Kesempatan ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Ia sedang mengamati tongkat pemukul bisbol dengan perasaan heran ketika mendengar ponselnya berbunyi lagi.
Siapa lagi? Jangan-jangan Lee Jeong-Su, katanya pada diri sendiri sambil melihat ke kanan-kiri, mencari asal bunyi. Tadi ponselnya ia taruh di mana ya? Ah, itu dia, di atas piano.
Ia berlari ke arah piano dan langsung membuka flap ponsel. “Halo?”
“Halo? Siapa ini?” tanya suara wanita di ujung sana.
Sandy mengerutkan dahi. Ia tidak mengenali suara wanita itu. Maka ia bertanya, “Ini Han Soon-Hee. Anda ingin mencari siapa?”
Suara wanita itu tidak ragu-ragu ketika menjawab, “Bukankah ini ponsel Jung Tae-Woo?”
63
Sandy terkejut. Astaga! Lagi-lagi ia mengambil ponsel yang salah. Ia memutar kepala ke sekeliling ruangan dan melihat ponselnya tergeletak di meja makan. Bagaimana ini?
“Oh... Benar, ini memang ponsel Jung Tae-Woo,” kata Sandy agak gugup. “Akan saya panggilkan dia.”
Wanita di ujung sana tiba-tiba menahannya. “Tunggu sebentar. Anda ini nona yang ada di foto bersama Tae-Woo itu, ya?”
Sandy menahan napas dan berpaling ke arah tangga, berharap Jung Tae-Woo segera muncul.
“Anu... saya...” Sandy sungguh tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia tidak pernah diberitahu bagaimana cara menghadapi orang-orang yang menanyakan hubungannya dengan Jung Tae-Woo.
“Tidak apa-apa,” suara wanita itu berubah ramah. “Aku ibu Jung Tae-Woo.”
Astaga! Ibunya? Pengetahuan ini malah membuat Sandy panik.
“Ah, apa kabar, Bibi?” kata Sandy berusaha terdengar tenang meski sebenarnya ia bergerak-gerak gelisah. Kemudian Sandy menutup ponsel dengan tangan dan berseru memanggil Tae-Woo dengan suaranya yang masih sedikit serak. “Jung Tae-Woo ssi!”
Ia kembali menempelkan ponsel ke telinga dan berkata, “Sebentar lagi Jung Tae-Woo ssi akan turun.”
Ibu Jung Tae-Woo tertawa pelan. “Senang sekali bisa mendengar suaramu walaupun Tae-Woo belum memperkenalkan kita. Dasar anak itu. Tadi kau bilang namamu Han Soon-Hee, bukan? Kedengarannya kau sedang flu. Kau tidak apa-apa?”
“Oh, saya tidak apa-apa.” Tepat pada saat itu ia melihat Jung Tae-Woo menuruni tangga, ia cepat-cepat berlari ke arah laki-laki itu.
“Jung Tae-Woo ssi sudah di sini. Silakan Anda bicara dengannya,” kata Sandy di telepon, lalu menyodorkan ponsel ke Tae-Woo.
Jung Tae-Woo menerima ponsel itu dengan bingung. “Siapa?”
“Ibumu,” bisik Sandy panik.
Tae-Woo mengangkat alis karena terkejut dan menjawab telepon. “Halo, Ibu?” Lalu tiba-tiba ia menjauhkan ponsel dari telinganya. Bahkan Sandy bisa mendengar suara ibu Jung Tae-Woo yang berteriak keras.
Akhirnya Jung Tae-Woo menempelkan ponsel kembali ke telinga dan berkata, “Bukannya aku tidak mau menceritakannya pada Ayah dan Ibu, hanya saja menurutku… Aku tahu… Apa? Aku di rumah. Ya, baiklah. Akan kujelaskan kepada Ayah nanti. Apa? … Dia?”
Sandy agak bingung ketika laki-laki itu menatapnya.
“Sebentar,” kata Jung Tae-Woo, lalu mengulurkan ponsel ke Sandy.
64
Sandy menatap Jung Tae-Woo dan ponsel itu bergantian.
“Ibuku mau bicara denganmu,” kata Jung Tae-Woo sambil meletakkan ponsel ke tangan Sandy. “Tidak apa-apa.”
Sandy menggigit bibir dan menatap Jung Tae-Woo. Kemudian ia menempelkan ponsel itu ke telinga dan menyapa ibu Jung Tae-Woo. Ia mendengarkan perkataan wanita yang lebih tua itu sebentar sambil mengangguk-angguk dan sesekali berkata “baik” dan “saya mengerti”. Akhirnya ia mengucapkan “sampai jumpa” dan menutup ponsel.
“Ibuku bilang apa?” tanya Jung Tae-Woo ketika Sandy mengembalikan ponselnya.
Sandy balas bertanya, “Apa yang kaukatakan pada ibumu tentang aku?”
“Aku bahkan belum sempat mengatakan apa-apa,” kata Jung Tae-Woo. “Ayahku melihat foto-foto kita di internet dan ibuku menelepon untuk menanyakan kebenarannya.”
Sandy hanya mengangguk-angguk. “Oh, foto-foto kita ada di internet juga?”
“Lalu ibuku bilang apa padamu?” tanya Jung Tae-Woo lagi.
Sandy tersenyum. “Katanya aku harus mengawasi makanmu karena kau sering lupa makan kalau sudah sibuk bekerja. Katanya aku harus banyak bersabar kalau menghadapimu, apalagi kalau kau sedang uring-uringan. Katanya sebenarnya kau anak yang baik dan tidak akan membuatku kecewa. Ibumu juga bilang ingin bertemu denganku dan memintamu membawaku ke Amerika untuk menemuinya.”
Jung Tae-Woo mengerang. “Cerewet sekali. Kenapa ibuku begitu baik padamu? Padaku tadi dia malah berteriak-teriak.”
Sandy mengangkat bahu. “Mungkin ibumu lebih suka anak perempuan. Hei, kalau tidak salah, ibumu penulis buku, ya? Aku pernah membaca salah satu bukunya dan aku suka sekali. Ibumu benar-benar berpikir aku pacarmu, ya? Wah, hebat.”
Jung Tae-Woo tidak mengacuhkan kata-kata Sandy dan bertanya, “Kenapa kau menjawab teleponku?”
Sandy berdeham dan menjawab, “Kupikir ponselku yang berbunyi. Tadi kan memang ada yang meneleponku. Sewaktu ponselmu berbunyi, kukira dia menelepon lagi. Sudah kubilang kau harus mengganti nada deringmu.”
“Siapa yang menelepon?”
“Teman,” sahut Sandy sambil memalingkan wajah. “Oh, coba lihat. Sudah waktunya makan siang. Pantas saja aku mulai lapar. Kau juga belum makan, kan?”
Jung Tae-Woo berkacak pinggang dan menunduk menatap lantai. Kemudian ia mengangkat kepala dan berkata, “Kalau begitu, kita pergi makan di luar saja.”
“Hei, kau mau kita berdua dilihat orang? Kau mau membuat hidupku susah?” tanya Sandy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar