“HYONG, hari ini tidak ada jadwal kerja, kan? … Aku sedang di luar. Ada sedikit urusan… Oke, sampai jumpa.”
Tae-Woo melempaskan earphone dari telinga dan kembali memusatkan perhatian pada jalanan di depannya.
“Sepertinya di sini kampusnya,” gumamnya pada diri sendiri sambil menghentikan mobil di tepi jalan. Ia membuka flap ponselnya dan baru akan menekan angka sembilan ketika gerakannya terhenti.
Ia melihat Sandy melalui kaca jendela mobilnya. Gadis itu sedang berjalan keluar dari gerbang kampus bersama laki-laki tinggi besar. Tae-Woo terus mengamati mereka ketika laki-laki itu membukakan pintu mobilnya untuk Sandy dan gadis itu masuk.
Tae-Woo menutup ponsel, melemparkannya ke kursi penumpang di sampingnya, lalu memutar mobilnya untuk mengikuti mobil putih itu.
Ternyata mereka tidak pergi jauh. Mobil putih itu berhenti di depan kafe dan kedua orang itu turun. Tae-Woo menghentikan mobil di seberang jalan dan tetap diam di dalam mobil. Ia melihat Sandy dan laki-laki itu masuk ke kafe dan, untungnya, menempati meja di dekat jendela. Dari mobilnya, Tae-Woo bisa melihat mereka berdua dengan jelas. Si laki-laki tidak henti-hentinya tersenyum dan berbicara, Sandy juga sering tersenyum dan sesekali menanggapi kata-kata pria itu.
Tae-Woo meraih ponselnya dan menekan angka sembilan. Begitu mendengar suara operator telepon, Tae-Woo langsung menutup flap ponselnya dengan keras.
“Kenapa ponselnya dimatikan?” tanyanya kesal.
44
Tae-Woo memerhatikan Sandy yang sedang tersenyum kepada pelayan yang meng-antarkan minuman. Ia memalingkan wajah lalu bertanya pada dirinya sendiri dengan nada heran, “Kenapa aku harus peduli?”
Ia menghidupkan mesin dan menjalankan mobil dengan kasar sehingga rodanya berdecit.
“Kau mau pulang? Bagaimana kalau kuantar?”
Sandy menggeleng dan tersenyum. “Tidak usah, Jeong-Su ssi. Aku belum mau pulang.”
Lee Jeong-Su berdiri di samping mobil putihnya dan bertanya lagi, “Kalau begitu kau mau ke mana? Aku bisa mengantarmu.”
Sandy menggeleng lagi. “Tidak usah. Kau pasti sibuk. Pergi saja dulu.”
Karena tidak bisa membujuk Sandy, Lee Jeong-Su akhirnya melambaikan tangan dan masuk ke mobil.
Sandy memerhatikan mobil putih itu membelok di sudut jalan dan mengembuskan napas. Ia berbalik dan mulai berjalan pelan. Karena teringat ponselnya yang tadi ia matikan, ia merogoh tas dan menyalakan alat komunikasi itu segera setelah menemukannya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
“Halo?” katanya, menempelkan ponsel ke telinga.
“Ini aku,” ujar suara di seberang sana.
“Jung Tae-Woo ssi?” Sandy agak heran mendengar suara Jung Tae-Woo.
“Kau di mana sekarang?” tanya Jung Tae-Woo cepat.
“Aku… oh…” Sandy melihat sekelilingnya dan menyebutkan tempatnya.
“Tunggu di sana.” Lalu tanpa menunggu jawaban, Jung Tae-Woo langsung memutuskan hubungan.
Sandy menatap ponselnya dengan bingung. Orang aneh. Tunggu di sini? Kenapa? Dia mau datang?
Sandy sedang mempertimbangkan apakah ia harus menunggu sambil berdiri di tepi jalan atau masuk lagi ke kafe ketika mobil merah berhenti tepat di depannya. Jendela mobil itu diturunkan dan Sandy membungkukkan badan untuk melihat ke dalam. Ia melihat Jung Tae-Woo yang berkacamata gelap seperti biasa duduk di balik kemudi.
“Masuk,” kata laki-laki itu singkat.
Sandy mendengus pelan mendengar nada memerintah dalam suara Jung Tae-Woo, tapi ia masuk juga ke mobil.
“Kenapa cepat sekali datangnya? Tadi kau sedang ada di sekitar sini?” tanya Sandy ringan ketika mereka sudah melaju di jalan.
45
Tae-Woo tidak menjawab, hanya bergumam tidak jelas.
“Kenapa mencariku? Kita harus berfoto?” tanya Sandy lagi sambil menatap teman seperjalanannya yang entah kenapa agak aneh hari ini.
Sepertinya Jung Tae-Woo tidak bisa menahan emosi lagi karena ia mulai menggerutu. “Aku mencoba menghubungimu dari tadi. Kenapa ponselmu dimatikan? Bukankah Hyong sudah bilang padamu kau harus siap setiap saat kalau-kalau kami menghubungimu?”
Sandy menatap Jung Tae-Woo dengan jengkel. “Baiklah, aku minta maaf. Aku memang baru mengaktifkan kembali ponselku. Tapi bukankah sekarang kau sudah berhasil menghubungiku?”
“Kau tadi sedang apa sampai tidak bisa menjawab telepon?” tanya Jung Tae-Woo sambil tetap menatap lurus ke jalan.
“Sedang bersama teman,” jawab Sandy, lalu mengalihkan pembicaraan. “Kenapa kau mencariku? Kita mau ke mana?”
Sandy melihat Jung Tae-Woo agak ragu sesaat, lalu laki-laki itu berkata, “Aku sampai lupa apa yang ingin kukatakan saking terlalu lamanya menunggumu. Tapi sebaiknya kau menemaniku membeli sesuatu.”
“Beli apa?”
“Hadiah untuk penggemarku,” sahut Jung Tae-Woo sambil memandang Sandy sebentar, lalu kembali menatap ke depan. “Untuk dibagikan dalam acara jumpa penggemar Sabtu nanti.”
“Untuk semua orang?”
“Tidak, hanya untuk beberapa orang yang terpilih.”
“Ooh.” Sandy mengangguk-angguk. “Kenapa kau baik sekali? Kukira artis tidak membeli sendiri hadiah untuk penggemarnya. Kupikir hal-hal semacam itu diurus orang lain.”
“Aku lebih suka membelinya sendiri. Karena kebetulan kau tidak sibuk, kau bisa membantuku.”
Sandy menoleh cepat. “Hei, siapa bilang aku tidak sibuk? Dua jam lagi aku harus menemui Mister Kim. Lagi pula menurut perjanjian, kita hanya akan berfoto bersama. Tidak pernah disebut-sebut soal aku harus menemani atau membantumu mengerjakan apa pun.”
“Bukankah sejak awal sudah kukatakan, kita anggap saja kesepakatan ini sama dengan aku menawarkan pekerjaan untukmu. Kau tidak menolak. Jadi intinya, kau sekarang bekerja untukku. Bukankah begitu?” kata Jung Tae-Woo sambil tersenyum. “Soal Mister Kim-mu itu, tidak usah cemas. Kau akan bisa menemuinya tepat waktu. Sudah kubilang aku tidak akan mengganggu pekerjaanmu di sana.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar