SEBELUM berangkat ke kampus, Sandy memutuskan untuk menelepon orangtuanya. Meski tidak yakin apakah orangtuanya sudah tahu tentang kebakaran itu atau belum, ia tetap berpikir sebaiknya mereka diberitahu. Siapa tahu mereka malah sudah mendapat kabar dan tidak bisa menghubunginya karena ia sendiri baru mengaktifkan ponsel hadiah dari Jung Tae-Woo tadi pagi. Orangtuanya tentu akan khawatir setengah mati.
Beberapa saat yang lalu Bibi Chon sudah datang untuk membereskan rumah. Sebelum berangkat ke bandara tadi pagi, Jung Tae-Woo memberitahu Sandy, bibi itu biasa datang membereskan rumah tiga kali seminggu. Jung Tae-Woo juga menambahkan Bibi Chon sudah bekerja untuk keluarganya sejak lama dan bahwa dia bisa dipercaya seratus persen, sehingga Sandy lebih tenang. Bagaimanapun keadaan tidak terlalu aman saat ini. Kalau kenyataan ia tinggal di rumah Jung Tae-Woo tercium wartawan, entah kehebohan apa lagi yang akan terjadi.
Setelah memperkenalkan diri kepada Bibi Chon dan membiarkan wanita setengah baya bertubuh gemuk itu menjalankan tugasnya, Sandy mengambil telepon rumah dan masuk ke kamar untuk menelepon orangtuanya. Seperti dugaan pertamanya, ternyata orangtuanya tidak tahu-menahu tentang kebakaran itu dan sekarang Sandy malah harus berusaha keras menenangkan mereka.
Pertama-tama ia berbicara dengan ibunya, jadi ia berbicara dalam bahasa Indonesia.
“Ya, Sandy nggak apa-apa, Ma. Nggak ada yang luka. Apinya memang besar dan Sandy nggak sempat mengambil barang-barang… Apa? … Oh, setahu Sandy sih nggak ada yang meninggal. Semuanya selamat… Tapi pemadam kebakarannya agak terlambat, jadi apartemen Sandy sudah hangus semua.”
116
Tiba-tiba Sandy mendengar suara ayahnya di ujung sana dan ia ganti berbicara dalam bahasa Korea. “Ayah, Ayah tidak usah khawatir begitu. Aku tidak apa-apa. Sungguh. Tidak terluka sedikit pun. Mama kenapa?”
Sepertinya ibunya sedang berusaha merebut telepon dari tangan ayahnya. Sandy tersenyum sendiri mendengar ibunya yang tidak sabaran. Akhirnya ibunya kembali menguasai telepon sehingga Sandy kembali berbicara dalam bahasa Indonesia.
“Sandy, bagaimana kalau kamu pulang dulu ke sini untuk sementara?” ibunya menawarkan.
Sandy tertawa kecil. “Sandy kan masih harus kuliah. Mama ini bagaimana?”
“Jadi, sekarang kamu tinggal di rumah siapa?” tanya ibunya langsung.
Sandy bingung harus menjawab apa. “Sekarang? … Ng, sementara ini Sandy tinggal di rumah teman. Dia tinggal sendiri jadi nggak keberatan kalau Sandy numpang sebentar. Lagi pula di rumahnya ada kamar kosong. Hari ini rencananya Sandy mau cari tempat tinggal baru.”
“Kamu bukan tinggal di rumah Young-Mi?” tanya ibunya lagi.
“Bukan. Mama kan tahu sendiri rumah Young-Mi hanya cukup untuk mereka sekeluarga. Kalau tinggal di sana, Sandy hanya bakal menambah beban Paman dan Bibi, kan? Young-Mi sudah meminjamkan pakaiannya untuk Sandy, jadi Sandy nggak mau lebih merepotkan lagi.”
“Oh, begitu? Terus, siapa nama teman kamu itu? Berapa nomor teleponnya? Alamatnya di mana?”
Sekarang Sandy agak enggan menjawab, “Teman Sandy?”
“Iya, teman kamu yang mengizinkan kamu tinggal di rumahnya itu. Siapa namanya? Mama kenal dia?”
“Oh… oh… itu…” Dilema. Apakah ia harus berterus terang?
“Jangan-jangan kamu sekarang ada di rumah artis itu.”
Kata-kata ibunya seperti petir di siang bolong. Jadi ibunya sudah tahu? Bagaimana bisa?
“Mama ini ngomong apa sih?” Sandy masih berusaha mengelak.
“Ada teman Mama yang cerita.” Suara ibunya berubah datar. “Jadi?”
Sandy tidak bersuara. Ia duduk bersila di tempat tidur sambil menatap jari-jari kakinya.
“Coba bilang terus terang sama Mama, apa kamu memang punya hubungan dengan artis itu?”
Sandy menelan ludah dan menarik napas pelan. “Memang kenal,” sahutnya agak takut-takut.
117
“Kenal? Seperti apa?” desak ibunya. “Terus, bagaimana ceritanya sampai kamu sekarang ada di rumahnya?”
Sandy menggigit bibir dan akhirnya memilih berterus terang. “Ma, kami sama sekali nggak ada hubungan apa-apa. Sandy hanya bermaksud membantu Jung Tae-Woo ssi, nggak lebih dari itu. Mama harus percaya sama Sandy. Memang benar, Sandy sekarang tinggal di rumahnya, tapi ini juga hanya untuk sementara.”
Sandy mendengar ibunya mendesah lirih. “Mama nggak tahu, Sandy. Memangnya kamu nggak punya teman lain yang bisa membantu? Kenapa harus di rumahnya?”
Sandy memejamkan mata, salah satu tangannya terangkat ke kening.
Ibunya melanjutkan lagi, “Entahlah, Sandy, Mama benar-benar nggak tahu harus ngomong apa. Terus terang saja, Mama merasa… Kenapa artis itu lagi?”
Sandy juga pernah berpikir seperti itu. Sejak ia mengatakan setuju membantu Jung Tae-Woo, setiap hari ia selalu teringat pada hal-hal yang tidak seharusnya diingat-ingat lagi. “Tapi, Ma, Jung Tae-Woo ssi orang yang baik,” katanya.
“Kamu sudah besar, sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang nggak. Terserah keputusanmu saja,” kata ibunya. “Mama akan mengirimkan pakaian untukmu. Kamu perlu apa lagi?”
Setelah ibunya menutup telepon, Sandy duduk merenung. Dadanya terasa sesak. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya pelan-pelan. Cara itu biasa dilakukannya untuk menenangkan diri.
”Nona.”
Sandy menoleh ke arah pintu kamar ketika mendengar suara Bibi Chon memanggilnya dari luar. Sandy segera turun dari tempat tidur dan berjalan ke pintu. Ia membuka pintu dan melihat wajah Bibi Chon yang berseri-seri.
Sebelum Sandy sempat membuka mulut, Bibi Chon sudah lebih dulu mengulurkan tangan dan berkata, “Saya menemukan ini di lantai. Apakah ini milik Anda?”
Sandy menatap benda yang ada di telapak tangan Bibi Chon. Benda itu bros berbentuk hati dan berwarna merah mengilat dengan pinggiran keemasan. Tenggorokannya tercekat. Ia baru ingat, di malam kebakaran itu ia sedang memandangi bros tersebut. Ternyata waktu itu tanpa sadar ia lalu memasukkannya ke saku piama. Sandy bahakn sudah hampir melupakannya sampai benda itu muncul lagi di hadapannya sekarang.
“Apakah ini milik Anda?” Bibi Chon mengulangi pertanyaannya.
Sandy tersentak. “Ya, benar. Terima kasih sudah menemukannya.”
Sandy menerima bros itu dan Bibi Chon kembali mengerjakan tugasnya. Sandy menutup pintu kamar. Ia kembali duduk di tempat tidur sambil menatap bros itu. Ia mendongak memandang langit-langit kamar, menarik napas panjang sekali lagi, lalu
118
mengembuskannya perlahan. Sekali, dua kali, tiga kali, dan tiba-tiba saja air matanya bergulir turun. Ia menghapusnya dengan telapak tangan, lalu menarik napas panjang dan mengembuskannya lagi.
Kang Young-Mi merapikan rambutnya yang tertiup angin dengan jari-jari tangan. Ia dan Sandy sedang duduk-duduk di kafe langganan mereka. Karena cuaca sore hari ini bagus sekali, mereka memilih meja di luar yang dinaungi payung besar bergaris-garis biru dan putih. Young-Mi mengamati temannya yang duduk di hadapannya dengan dahi berkerut. Sandy sedang mengaduk-aduk cappuccino-nya dengan gerakan lambat. Young-Mi merasa sikap temannya agak lain. Akhir-akhir ini Sandy sering melamun, sepertinya banyak sekali yang dipikirkannya. Young-Mi pernah berusaha mencari tahu apa yang ada dalam benak Sandy, tapi tidak mendapat jawaban yang memuaskan.
“Soon-Hee, hari ini Jung Tae-Woo pulang, ya?” tanya Young-Mi sambil lalu.
Sandy tidak menjawab, bahkan mengangkat wajah pun tidak. Ia masih terus mengaduk cappuccino-nya.
Kang Young-Mi menarik napas dalam-dalam. “Hei, Han Soon-Hee!”
Kali ini Sandy tersentak dan menatapnya dengan pandangan bertanya. “Apa? Kenapa?”
“Aku tanya, Jung Tae-Woo kembali hari ini, bukan?”
“Oh, tidak. Tadi siang dia menelepon dan bilang tidak jadi pulang hari ini,” jawab Sandy sambil mengangkat bahu. “Katanya ada urusan mendadak atau semacamnya. Mungkin besok baru pulang.”
“Begitu?” Young-Mi mengangguk-angguk dan terdiam. Setelah berpikir sebentar, ia bertanya lagi, “Wah, jangan-jangan dia selingkuh dengan artis Jepang?”
Sandy tertawa ringan. “Kalau dia memang bisa selingkuh atau setidaknya punya hubungan dengan wanita, bukankah sejak awal aku tidak dibutuhkan?”
Young-Mi ikut tertawa. “Benar juga,” katanya. “Jadi kau akan pindah setelah dia pulang nanti?”
Sandy mengangkat wajah dan memiringkan kepala. “Mmm, begitulah. Rasanya tidak enak kalau aku pindah begitu saja tanpa bilang dulu padanya, kan?”
Young-Mi mencondongkan tubuhnya ke depan. “Maksudku, kenapa kau tidak tetap tinggal di rumah Jung Tae-Woo saja? Aku rasa dia tidak akan keberatan.”
Mata Sandy melebar. “Kau gila? Kalau ketahuan, itu bisa jadi skandal besar! Para wartawan tabloid gosip bakal jungkir balik saking senangnya,” katanya. “Lagi pula ibuku juga marah-marah. Akan jauh lebih baik kalau aku punya tempat tinggal sendiri.
119
Masa aku bisa berdiam diri membiarkan Jung Tae-Woo menanggungku? Masa dia mau menanggungku? Yang benar saja.”
Young-Mi berdeham, menatap kesepuluh kuku jari tangannya yang dipotong rapi dan berkata, “Bukankah dia suka padamu?”
Walaupun Sandy tidak menunjukkan ekspresi apa pun, sudah tentu Young-Mi bisa menduga hubungan Soon-Hee dan Jung Tae-Woo tidak sesederhana yang mereka katakan. Ia yakin Jung Tae-Woo tertarik pada Sandy. Kenapa ia bisa yakin? Karena Jung Tae-Woo mengizinkan gadis itu tinggal di rumahnya, membelikan ponsel untuknya, dan merayakan ulang tahunnya. Lalu selama berada di Jepang, laki-laki itu sering menelepon Sandy, kalau tidak menelepon, ia akan mengirim pesan singkat melalui ponsel. Young-Mi nyaris yakin sebenarnya Sandy juga tertarik pada Jung Tae-Woo, tapi ia tidak punya alasan kuat yang mendukung keyakinannya itu. Sandy snediri tidak pernah secara blakblakan mengatakan ataupun menunjukkan perasaan tentang masalah yang satu ini.
“Bagaimana?” tanya Young-Mi. “Kau sendiri juga bisa merasakannya, kan?”
Sandy menatapnya sambil tersenyum samar. “Merasakan apa? Kau ini ada-ada saja. Oh ya, aku belum berterima kasih padamu karena sudah seharian ini kau menemaniku mencari apartemen baru. Kau mau membantuku memilih perabot, kan? Harus kukatakan dulu bahwa aku hanya sanggup membeli beberapa perabot dasar. Kalau pindah nanti, aku pasti akan membutuhkan bantuanmu lagi.”
Young-Mi tidak berkomentar apa-apa. Ia mengembuskan napas perlahan dan bersandar kembali ke kursi plastiknya. “Tentu saja,” katanya setelah terdiam beberapa saat. “Aku akan membantumu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar