JAM dinding menunjukkan pukul 00:52 ketika Tae-Woo tiba di rumah. Ia melemparkan kunci mobil ke meja dan mengempaskan tubuh ke sofa. Ia mengusap wajahnya dan melepaskan jaket. Hari ini benar-benar melelahkan. Setelah mengantar Sandy pulang siang tadi, ia dan Park Hyun-Shik langsung mengantar ibunya ke bandara. Setelah itu Tae-Woo kembali disibukkan dengan jadwal kerjanya yang padat. Tentu saja sepanjang hari itu ia terus dikejar-kejar wartawan yang tidak henti-hentinya bertanya tentang Sandy, tapi Park Hyun-Shik menyuruhnya tidak berkomentar dulu. Mereka harus membicarakan langkah selanjutnya dengan Sandy.
Sejak sore tadi Tae-Woo ingin menelepon Sandy. Ia ingin tahu apakah gadis itu baik-baik saja, tapi ia tidak punya waktu. Sekarang ia mengeluarkan ponsel dari saku dan membuka flap-nya. Apakah sekarang sudah terlalu malam untuk menelepon?
Sepertinya tidak ada salahnya mencoba.
Tae-Woo menekan angka sembilan dan menempelkan ponsel ke telinga. Keningnya agak berkerut ketika mendengar suara operator telepon yang memberitahunya telepon yang dihubungi sedang tidak aktif. Tae-Woo menutup kembali ponselnya dan menimbang-nimbang.
Baiklah, hair ini tidak perlu diperpanjang lagi. Besok ia akan langsung pergi menemui gadis itu.
Setelah mandi dan kembali berpakaian—kaus longgar jingga dan celana panjang putih, Tae-Woo merasa lebih nyaman. Sambil mengeringkan rambut dengan handuk, ia berjalan ke ruang duduk dan menyalakan televisi. Kemudian ia berjalan ke dapur yang terletak tidak jauh dari ruang duduk dan membuka-buka lemari.
91
“Tidak ada makanan. Kenapa Ibu cuma beli mi instan?” gerutunya sambil mengeluarkan sebungkus mi instan. Ia berbalik, memandang sekilas televisi, lalu membungkuk untuk membuka pintu lemari bagian bawah. Tiba-tiba gerakannya terhenti dan dengan sekali sentakan ia kembali menegakkan tubuh. Matanya terbelalak menatap layar televisi.
Layar televisi menampilkan reporter wanita yang melaporkan berita di lokasi kejadian. Di latar belakangnya terlihat gedung yang dilalap api. Para petugas pemadam kebakaran berlalu-lalang dan para polisi berusaha menertibkan orang-orang yang berkerumun di tempat kejadian. Suasana sepertinya hiruk pikuk, terdengar teriakan dan tangisan orang-orang.
Tae-Woo menyambar remote control dan mengeraskan volume televisinya untuk mendengar kata-kata si reporter.
“…sampai sekarang pemadam kebakaran sedang berusaha memadamkan api. Kami belum mendapat konfirmasi apakah gedung apartemen itu sudah kosong atau belum. Api begitu besar, kami berharap semua penghuni sudah berhasil keluar…”
Mata Tae-Woo terpaku pada layar televisi. Tubuhnya menegang, jantungnya berdebar begitu keras. Ini tidak mungkin. Mustahil itu gedung apartemen Sandy. Siang tadi ia baru saja dari sana. Tuhan, katakan ini tidak benar. Namun si reporter kini menyebutkan nama dan lokasi gedung yang sedang terbakar. Darah Tae-Woo langsung terasa membeku.
Tanpa berpikir lagi, Tae-Woo melemparkan handuk ke lantai, menyambar kunci mobil, dan keluar dari rumah.
Ia melajukan mobil dengan kecepatan penuh, tangannya mencengkeram kemudi erat-erat sampai buku-buku jarinya memutih. Perasaannya kacau… gelisah… takut. Jantungnya masih terus berdebar keras dan seluruh tubuhnya terasa dingin. Ia mencoba menghubungi ponsel Sandy tapi hasilnya masih tetap sama. Ponselnya tidak aktif. Sepanjang perjalanan ia terus berdoa semoga Sandy tidak apa-apa. Semoga Sandy sudah keluar dan tidak terluka. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana keadaan Sandy? Bagaimana kalau…
Astaga, ia bisa gila!
Ketika ia hampir sampai di tempat kejadian, jalanan sudah ditutup sehingga tidak ada mobil yang bisa lewat. Tae-Woo langsung melompat keluar dari mobil dan berlari menerobos kerumunan orang. Suasana yng kacau dan udara yang begitu panas karena asap dari kobaran api terasa begitu menyesakkan. Tae-Woo berlari ke sana kemari dan melihat ke sekeliling, mencari sosok Sandy. Ia berjalan cepat di antara orang-orang sambil berteriak-teriak memanggil nama Sandy. Di mana gadis itu?
92
Tae-Woo bolak-balik memutar kepala dan terus mencari. Tiba-tiba matanya terpaku pada sosok yang berdiri agak jauh dari kerumunan. Orang itu hanya mengenakan piama, berdiri menatap gedung yang dilalap api dengan pandangan kosong.
“Sandy!” Tae-Woo berseru namun gadis itu tetap bergeming.
Rasa lega membanjiri dirinya ketika ia berlari menghampiri gadis itu.
“Sandy…” Kini Tae-Woo sudah berdiri di samping Sandy dan menyentuh lengannya.
Gadis itu menoleh dengan linglung dan Tae-Woo melihat wajahnya kotor karena asap. Ada sinar ketakutan di mata besarnya. Ketika Tae-Woo memegang lengan Sandy, ia baru menyadari tubuh gadis itu gemetaran.
“Kau tidak apa-apa? Ada yang luka?” tanya Tae-Woo dengan nada khawatir sambil mengamati Sandy dari atas ke bawah. Gadis itu hanya mengenakan piama tanpa alas kaki. Rambutnya tergerai kusut di bahu dan kedua tangannya meremas syal basah bermotif kotak-kotak hitam dan putih. Syal yang diberikan Tae-Woo kepadanya sewaktu acara jumpa penggemar dulu.
Sandy mengangguk masih dengan raut wajah linglung. “Ya, aku tidak apa-apa,” sahutnya pelan. Tae-Woo mendengar suaranya juga bergetar.
Tae-Woo mengembuskan napas lega dan langsung memeluk gadis itu. “Syukurlah kau tidak apa-apa.”
“Aku tidak sempat membawa apa-apa,” gumam Sandy.
Tae-Woo merenggangkan pelukannya dan menatap Sandy yang sepertinya masih terguncang. “Tidak apa-apa. Asalkan kau selamat, itu sudah cukup. Ayo, ikut aku.”
Sandy menurut dan membiarkan Tae-Woo menuntunnya ke tempat mobilnya ditinggalkan. Mata Sandy terus terpaku pada api yang berkobar dan asap yang bergulung-gulung.
Sepanjang perjalanan Sandy tidak berbicara dan Tae-Woo juga tidak mengajaknya bicara. Ketika akhirnya mereka tiba di rumahnya, Tae-Woo baru menyadari rumahnya terang benderang, pintu rumahnya lupa dikunci, dan televisinya lupa dimatikan karena ia begitu terburu-buru keluar rumah tadi.
“Kau duduk dulu di sini,” katanya sambil mendudukkan Sandy di sofa. “Aku akan mengambil minuman untukmu.”
Ketika kembali membawa secangkir teh hangat, ia melihat Sandy menangis. Sepertinya kesadaran gadis itu sudah kembali sepenuhnya dan akibat guncangan tadi mulai terasa olehnya.
Tae-Woo meletakkan cangkir di meja, duduk berhadapan dengan Sandy, lalu memandang khawatir gadis itu. “Ada yang sakit?”
93
Sandy menggeleng-geleng sambil menghapus air mata dengan punggung tangannya. Lalu ia berbicara sambil terisak-isak. Dengan agak susah payah, Tae-Woo mendengarkan kata-kata yang tidak terlalu jelas karena diucapkan sambil menangis, tapi ia bisa menarik kesimpulan dari kalimat Sandy yang kacau-balau.
Sandy bercerita api itu berasal dari apartemen sebelah. Saat itu ia sedang menonton televisi lalu tiba-tiba merasa panas dan susah bernapas. Kemudian segalanya menjadi kacau. Alarm tanda kebakaran berbunyi nyaring dan orang-orang berteriak. Ia panik dan hanya sempat berpikir harus mengambil sesuatu untuk menutupi hidung dan mulutnya. Ia pun menyambar syal pemberian Tae-Woo yang tergeletak di samping tempat tidurnya dan langsung berlari keluar dari apartemen.
Tae-Woo menyodorkan sekotak tisu kepada Sandy dan gadis itu menerimanya. “Baiklah, aku sudah mengerti. Sudah, tidak apa-apa.”
Sandy terlihat lebih tenang. Ia mengeringkan air mata dan membersihkan hidung. Lalu ia memandang Tae-Woo dengan cemas. “Sekarang bagaimana?”
“Di sini banyak kamar kosong. Sebaiknya malam ini kau tinggal di sini dulu.” Tae-Woo menunjuk cangkir teh di meja. “Minumlah. Masalah lainnya kita pikirkan besok saja.”
Sandy mengangkat cangkir itu dengan kedua tangannya. Walaupun Sandy masih agak tegang, Tae-Woo melihat tangan gadis itu sudah tidak gemetar lagi. Sandy meminum tehnya pelan-pelan, lalu memandang piamanya yang kotor.
Tae-Woo berdeham. “Ibuku tidak meninggalkan pakaiannya di sini, tapi kalau kau tidak keberatan, aku bisa meminjamkan bajuku.”
Sementara Sandy membersihkan diri dan berganti pakaian, Tae-Woo menelepon manajernya dan menceritakan apa yang terjadi.
“Baiklah, aku akan ke sana besok pagi,” kata Park Hyun-Shik sebelum menutup telepon. “Syukurlah dia tidak apa-apa.”
Sandy kembali ke ruang duduk ketika Tae-Woo menutup telepon. Tae-Woo tersenyum kecil ketika melihat penampilan gadis itu. Sandy mengenakan kaus lengan panjang yang kebesaran untuknya, dan celana panjang yang ujungnya harus dilipat berkali-kali. Wajahnya sudah dibersihkan dan rambutnya basah karena baru keramas.
“Boleh aku pinjam teleponmu?” tanya Sandy. “Aku ingin menelepon temanku, Young-Mi. Aku tidak tahu dia sudah dengar tentang kejadian ini atau belum. Kalaupun sudah, aku hanya ingin memberitahunya aku baik-baik saja.”
“Tentu saja,” sahut Tae-Woo sambil menyodorkan telepon kepada Sandy. Ia berjalan ke dapur untuk memberikan sedikit privasi, walaupun tentu saja dari sana ia masih bisa mendengar ucapan gadis itu.
94
“Young-Mi. Ini aku,” kata Sandy. “Oh, kau sudah tahu? … Tidak, tidak, aku baik-baik saja. Kau tidak usah cemas… Sekarang?”
Tae-Woo menyadari Sandy meliriknya sekilas.
“Emm… aku di rumah teman,” gumam Sandy, lalu cepat-cepat menambahkan, “begini, Young-Mi, aku mau minta tolong. Aku boleh pinjam pakaianmu? Aku tidak sempat membawa apa-apa. Bahkan ponselku tidak sempat kuselamatkan… Besok pagi? Terima kasih banyak… Oh, alamatnya?”
Sandy menyebutkan alamat rumah Tae-Woo dan setelah itu menutup telepon.
“Apa kata temanmu?” tanya Tae-Woo.
“Dia sudah tahu tentang kebakaran itu dan sudah berusaha menghubungiku sejak tadi. Katanya dia bisa meminjamkan pakaiannya untukku. Tadi dia menawarkan diri untuk mengantarkan pakaiannya ke sini. Kuharap kau tidak keberatan karena aku sudah memberikan alamat rumahmu kepadanya.”
Tae-Woo hanya mengangkat bahu. “Dia temanmu yang kauceritakan itu, kan? Yang sudah tahu segalanya tentang kita? Kurasa tidak masalah.”
Sandy mengangguk dan mengangsurkan pesawat telepon yang dipegangnya kepada Tae-Woo. “Jung Tae-Woo ssi, bagaimana kau bisa tahu tentang kebakaran itu?”
Tae-Woo menerima teleponnya dan menunjuk ke arah televisi. “Dari televisi.”
Sandy menatap Tae-Woo sambil tersenyum. “Kenapa rambutmu begitu?”
Tangan Tae-Woo langsung menyentuh kepalanya. Ia baru menyadari rambutnya acak-acakan. Ia baru ingat ia tadi sedang mengeringkan rambut ketika melihat berita kebakaran itu di televisi. Saking paniknya, ia langsung melesat keluar tanpa memikirkan penampilan.
Tae-Woo berdeham dan menyisir rambut dengan jari-jari tangannya. “Tadi baru keramas,” gumamnya tidak jelas, lalu kembali menyodorkan pesawat telepon yang dipegangnya kepada Sandy. “Masih ada yang ingin kautelepon? Orangtuamu?”
Sandy berpikir sejenak. “Orangtuaku ada di Jakarta. Kurasa mereka tidak akan tahu tentang gedung apartemen yang terbakar di Korea. Aku juga tidak ingin membuat mereka khawatir. Lagi pula sekarang sudah larut sekali. Lain kali saja baru kuceritakan kepada mereka.”
“Baiklah, terserah kamu,” kata Tae-Woo. “Sebaiknya sekarang kau istirahat. Ayo, kuantar kau ke kamarmu.”
Ia membawa Sandy ke kamar tamu di lantai dua. “Silakan,” kata Tae-Woo setelah membuka pintu kamar itu.
Sandy mengangguk dan melangkah masuk. Ketika berbalik, Tae-Woo mendengar Sandy memanggilnya. Ia pun menoleh.
95
Sandy berdiri di sana dengan tangan memegang pintu kamar yang terbuka. “Terima kasih,” katanya sambil tersenyum kecil. “Untuk semuanya.”
Tae-Woo membalas senyumnya. “Selamat malam.”
Ketika membuka mata keesokan harinya, Sandy tertegun sejenak sebelum menyadari ia sedang berada di rumah Jung Tae-Woo. Ia bangun dan duduk bersila di tempat tidur. Otaknya memutar kembali kejadian semalam. Ia tidak bisa melukiskan perasaannya ketika kebakaran itu terjadi. Sepertinya saat itu ia dalam keadaan setengah sadar karena entah bagaimana ia sudah keluar dari gedung dan berdiri di tepi jalan. Semuanya terjadi begitu cepat dan samar. Dalam sekejap ia sudah tidak punya apa-apa lagi.
Sejak menyadari gedungnya terbakar, hati Sandy diserang rasa panik, namun ia tahu ia harus tetap kuat dan tenang karena ia hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri. Namun ketika ia berdiri kebingungan di tepi jalan sambil memandang apartemennya yang terbakar, Jung Tae-Woo datang. Sandy merasa begitu lega melihat pria itu. Tiba-tiba ia tahu ia tidak perlu memasang sikap tegar dan tidak perlu berpura-pura takut. Ia bisa melepaskan sedikit ketegangan dalam dirinya. Ia tidak sendirian lagi.
Apa yang sedang kupikirkan? Sandy menggeleng-geleng. Sudah jam berapa sekarang? Ia melihat jam kecil yang terletak di meja kecil di samping tempat tidurnya. Ternyata sudah pukul 09.25
Sandy turun dari tempat tidur dan memandang ke sekelilingnya. Kira-kira pintu apa di situ? Kamar mandi?
Ketika Sandy memutar kenopnya, ternyata memang benar itu pintu kamar mandi. Kamar mandinya cukup besar, ada bak mandi dan pancuran. Di sana juga sudah tersedia keperluan dasar seperti sabun, sikat gigi, pasta gigi, dan handuk. Ternyata mereka sudah mempersiapkan semuanya bagi tamu yang mungkin datang menginap. Kemarin Sandy tidak memakai kamar mandi yang ini, tapi kamar mandi lain di lantai bawah, jadi ia cukup terkesan.
Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, ia turun ke lantai bawah. Ia menuruni tangga dengan perlahan sambil melihat ke kiri dan ke kanan.
“Sudah bangun?”
Sandy terlompat kaget mendengar suara Jung Tae-Woo. Ternyata laki-laki itu sedang duduk di meja makan sambil tersenyum kepadanya. Ia tidak sendirian. Park Hyun-Shik juga duduk di sana sambil memegang surat kabar pagi.
“Oh, Paman sudah datang?” Sandy menghampiri mereka berdua. “Maaf, aku terlambat bangun.”
96
Ia agak risi karena Park Hyun-Shik terus menatapnya dengan pandangan penuh arti. Meski bisa menduga paman yang satu itu sedang memandangi pakaiannya, ia bertanya juga, “Paman, kenapa melihatku seperti itu?”
Park Hyun-Shik tersenyum dan menggeleng. “Tidak apa-apa. Aku lega kau tidak terluka. Ayo duduk. Mau sarapan? Ini ada roti.”
“Terima kasih.”
Park Hyun-Shik melipat koran dan meletakkannya di meja. “Tadi pagi aku mampir ke gedung apartemenmu. Kelihatannya buruk. Kurasa tidak ada yang tersisa. Aku dengar dari Tae-Woo apinya berasal dari apartemen di sebelah apartemenmu?”
Sandy mengangguk.
“Kalau begitu, kurasa tidak ada lagi yang bisa diharapkan.”
Sandy mendesah dan mengerutkan kening dengan cemas.
“Apa rencanamu selanjutnya?” Park Hyun-Shik bertanya.
Sandy memandangnya. “Belum tahu. Mencari tempat tinggal baru mungkin. Aku masih punya uang di bank, tapi…”
“Kau akan tinggal di mana? Bisa tinggal bersama teman?”
Sandy berpikir-pikir. “Temanku hanya Kang Young-Mi dan dia pasti akan mengizinkan aku tinggal di rumahnya untuk sementara. Masalahnya, rumahnya tidak besar dan selain dia dan orangtuanya, masih ada dua adik laki-laki. Kalau aku tinggal di sana, kurasa aku hanya akan merepotkan mereka.”
Park Hyun-Shik menatap Jung Tae-Woo, lalu kembali menatap Sandy. “Bagaimana kalau kau tinggal di sini saja dulu untuk sementara?”
Sandy tersentak kaget. Ia langsung menoleh ke arah Jung Tae-Woo dan buru-buru menjawab, “Oh, itu tidak perlu. Itu—“
“Kenapa tidak di rumah Hyong saja?” sela Jung Tae-Woo.
Park Hyun-Shik tertawa kecil. “Kau tahu sendiri di apartemenku hanya ada satu kamar tidur. Kau mau dia tidur sekamar denganku? Di rumahmu ini ada banyak kamar, jadi seharusnya tidak ada masalah.”
Sandy merasa wajahnya panas. Apa yang sedang mereka bicarakan? “Tidak, itu tidak perlu,” katanya. “Aku akan segera mencari tempat tinggal baru.”
Jung Tae-Woo mengerutkan dahi dan memandangnya. “Kaukira kau bisa mendapatkan tempat tinggal yang cocok dalam satu hari?”
“Soal itu…” Sandy tidak tahu harus berkata apa.
Jung Tae-Woo akhirnya mengangguk dan mendesah. “Kurasa yang dikatakan Hyong benar.”
Park Hyun-Shik menyandarkan punggung ke kursi dan melipat tangan di depan dada. “Baiklah, kita putuskan begitu saja. Untuk sementara Sandy akan tinggal di sini
97
sambil mencari tempat tinggal baru. Tentu saja aku juga akan membantumu mencari. Katakan saja padaku tempat seperti apa yang kauinginkan.”
“Ini…,” Sandy memandang Jung Tae-Woo. “Tapi aku… Apakah tidak apa-apa?”
Jung Tae-Woo mengangkat bahu. “Kurasa kau tidak punya pilihan lain, kan? Atau kau mau pulang ke Indonesia?”
“Aku masih harus kuliah.”
“Kalau begitu, kau memang tidak punya pilihan,” kata Jung Tae-Woo.
“Tapi…”
Jung Tae-Woo menatapnya. “Kenapa? Kau takut padaku?”
Sandy membelalakkan mata. “Ah, tidak. Bukan begitu.”
Park Hyun-Shik tertawa dan berkata pada Sandy, “Kau boleh tenang, Sandy. Kau pastinya juga sudah tahu Tae-Woo digosipkan sebagai gay, bukan playboy.”
Sontak wajah Tae-Woo menampilkan ekspresi kesal. Sandy ikut tertawa melihat raut wajahnya.
Tiba-tiba terdengar bunyi bel pintu. Jung Tae-Woo bangkit dari kursi dan berjalan ke pintu. Lalu, “Oi, Sandy,” panggilnya.
“Ada apa?” Sandy berdiri dan menyusulnya ke pintu.
Jung Tae-Woo menunjuk ke monitor kecil di samping pintu. Ternyata monitor itu menunjukkan siapa yang sedang berada di depan pintu rumah. Sandy melihat wajah gadis bermata sipit dengan rambut dikucir dan tangan memeluk kantong kertas.
“Itu temanmu?” tanya Jung Tae-Woo memastikan.
“Ya. Itu Young-Mi,” kata Sandy.
Sandy bisa melihat temannya nyaris pingsan karena sesak napas begitu mendapati Jung Tae-Woo yang membukakan pintu untuknya. Mata Young-Mi yang sipit melebar dan salah satu tangannya langsung naik ke dada seakan untuk menahan jantungnya supaya tidak jatuh.
“Young-Mi, kau tidak apa-apa?” tegur Sandy sambil menyentuh lengan Young-Mi yang tiba-tiba kaku.
Dengan agak tergagap-gagap, Young-Mi mengucapkan selamat pagi kepada Jung Tae-Woo sambil membungkukkan badan. Jung Tae-Woo membalas salamnya dan mempersilakannya masuk.
“Astaga, aku tidak percaya ini,” bisik Young-Mi ketika ia duduk di sofa panjang ruang duduk dan melihat ke sekeliling. Saat itu Jung Tae-Woo sudah berjalan kembali ke ruang makan, meninggalkan mereka berdua di ruang duduk.
“Kenapa kau ini?” goda Sandy sambil menyikut lengan temannya.
Young-Mi menatap Sandy dengan mata berbinar-binar. “Aku tidak percaya aku baru saja bertemu Jung Tae-Woo dan sekarang berada di dalam rumahnya. Aku duduk
98
di sofanya. Aku menginjak lantai rumahnya. Astaga! Hei, kenapa kemarin kau tidak bilang kau berada di rumah Jung Tae-Woo?”
Sandymeringis melihat tingkah temannya. “Hei, temanmu ini baru mengalami bencana.”
Young-Mi berpaling dengan cepat ke arah Sandy. “Oh, ya, maaf. Aku lega kau tidak apa-apa. Ini kubawakan beberapa pakaian. Pakaian dalam juga. Pakaian dalamnya baru kubeli tadi pagi. Baju-baju itu punyaku. Ukurannya pasti cocok untukmu.”
Sandy menerima kantong kertas yang disodorkan Young-Mi. “Terima kasih banyak. Aku pasti akan mengembalikannya nanti.”
Young-Mi mengibaskan tangan. “Tidak usah dipikirkan. Lalu selanjutnya bagaimana?”
Alis Sandy terangkat. “Mm?”
“Kau tahu kau bisa tinggal di rumah kami. Kami tidak akan keberatan sama sekali.”
Sandy tersenyum. “Aku tahu. Terima kasih banyak. Tapi kurasa tidak perlu. Aku pasti hanya akan merepotkan kalian.”
Mata Young-Mi melebar. “Merepotkan bagaimana? Kau boleh tidur denganku Young-Joon dan Young-Ho bisa pindah tidur di ruang tengah—“
“Mana mungkin aku membiarkan adik-adikmu tidur di ruang tengah?” sela Sandy. “Aku tahu kalian akan dengan senang hati menerimaku, tapi aku sendiri akan merasa tidak enak kalau begitu.”
Young-Mi terdiam sesaat, lalu berkata, “Kalau begitu kau akan tinggal di mana?”
Sandy berdeham. “Aku akan mencari tempat tinggal baru.”
“Hei, kaukira kau bisa mendapatkan tempat tinggal baru dalam satu hari? Selama kau mencari kau akan tinggal di mana?”
Nah, kenapa kata-kata temannya ini persis seperti kata-kata Jung Tae-Woo? Sandy memiringkan kepala dan berkata ragu, “Kurasa aku akan tinggal di… sini…”
Sandy melihat Young-Mi menahan napas dan menatapnya kaget. Lalu Young-Mi mengerjapkan mata. “Di sini? Di rumah Jung Tae-Woo?”
“Di sini banyak kamar kosong,”Sandy mengulangi kata-kata Paman Park Hyun-Shik tadi. “Jadi kurasa… Ah, lagi pula Jung Tae-Woo ssi yang menawarkan.”
Tidak, sebenarnya tidak persis begitu, tapi kira-kira seperti itulah.
“Kau yakin?” tanya Young-Mi ragu.
“Aku tidak punya pilihan lain.” Kali ini giliran kata-kata Jung Tae-Woo yang Sandy pinjam.
Tepat pada saat itu Park Hyun-Shik masuk ke ruang duduk bersama Jung Tae-Woo. Young-Mi yang melihat kedatang mereka langsung melompat berdiri seperti disengah lebah. Park Hyun-Shik pun menyunggingkan senyumnya yang menawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar