“HEI, lagi dengerin lagu apa nih?”
Sandy menoleh ke arah suara yang bernada ceria dan penuh semangat itu. Tara, saudara sepupunya yang sebaya dengannya, masuk ke kamarnya dan langsung merebahkan diri di tempat tidur. Sebelum Sandy menjawab, Tara sudah meraih kotak CD yang sedang dipegang Sandy.
“Cakep amat nih cowok,” komentarnya ketika melihat cover depan CD yang gambarnya foto Jung Tae-Woo itu. “Lho, San, kok ada tanda tangan segala? Ini beneran tanda tangan penyanyi ini? Lo pernah ketemu?”
Sandy tertawa dan merebut kotak CD itu kembali. “Ya. Waktu itu aku pergi ke acara jumpa penggemarnya.”
Ia melihat Tara hanya meringis dan mengangkat bahu. Ada kalanya ia ingin seperti sepupunya itu. Tara gadis yang periang, santai, dan berbakat dalam bahasa. Lihat saja, walaupun menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Paris bersama ayahnya dan hanya sesekali mengunjungi ibunya di Jakarta bila sedang liburan seperti sekarang, bahasa Indonesia Tara tanpa cela. Bahkan ia sama sekali tidak kesulitan mengikuti perkembangan bahasa gaul Indonesia. Tidak seperti Sandy yang bahasa Indonesia-nya masih terdengar agak resmi.
“Ada rencana apa hari ini?” tanya Sandy. “Kok pagi-pagi sudah ke sini?”
“Gue bosan di rumah,” jawab sepupunya ringan. Ia duduk di tepi tempat tidur Sandy dan merapikan ikal-ikal rambutnya. “Ngomong-ngomong, lo kok tiba-tiba nongol di Jakarta. Bikin kaget aja. Lagi patah ati?”
“Apa?”
“Udah punya gebetan belon sih?” Tara mengganti pertanyaannya.
155
“Apa itu gebetan?”
Mata Tara melebar. “Yee... lo ini orang Indonesia apa bukan?” katanya sambil tertawa kecil. “Maksud gue tuh, lo udah punya cowok yang ditaksir belon? Udah punya cowok belon? Gitu lho.”
Senyum Sandy mengembang. “Sudah,” jawabnya sambil menunjuk gambar cover depan CD Jung Tae-Woo. “Ini dia.”
Tara meringis. “Iye, gue juga punya affair sama Brad Pitt,” katanya cepat. “Gimana sih, ditanya baek-baek kok jawabnya gitu.”
Sandy juga sudah memperkirakan Tara tidak akan percaya. Ia menatap wajah Jung Tae-Woo di cover CD itu. Sudah satu minggu ia berada di Jakarta, dan selama satu minggu itu ia tidak bisa melihat foto-foto dan artikel Jung Tae-Woo di tabloid dan di televisi. Namun masih ada Young-Mi yang sering mengirimkan SMS untuk mencerita-kan kabar terbaru. Jung Tae-Woo juga kadang-kadang mengirim SMS untuk mengabarkan keadaannya.
“Tara, bisa pinjam handphone-mu sebentar?”
“Pourquoi? Kenapa?” tanya Tara sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tas tangannya.
“Pulsaku sudah habis. Aku mau kirim SMS ke temanku di Korea. Aku mau bilang lusa aku akan balik ke Korea,” Sandy menjelaskan.
Tara menggeleng-geleng sambil mendesah. “Lo jangan ngomong pake bahasa yang seresmi itu dong. Gue jadi merinding nih. Pake aku-kamu segala. Emang kita pacaran?”
Sandy hanya tertawa. Tara membantunya mengirim SMS kepada Young-Mi dalam bahasa Inggris karena ponsel Tara tidak memiliki fasilitas huruf hangeul dan karena Sandy sendiri tidak begitu bisa bahasa Inggris. Menulis bahasa Korea tanpa hangeul terasa terlalu aneh.
“Nih, udah kekirim,” kata Tara, lalu ia bangkit dari tempat tidur Sandy. “Sekarang kita cabut yuk!”
“Apa? Kamu mau ke mana?”
Tara memandangi dirinya di cermin yang tergantung di dinding, berbalik ke kiri, berbalik ke kanan, lalu mendekatkan wajah ke cermin, seakan-akan ingin memeriksa apakah ada setitik debu di ujung hidungnya. “Kita ke Bandung. Mau nggak?” usul Tara sambil menjauhkan wajahnya dari cermin. “Gue lagi pengin jalan nih. Bukan cuma lo yang patah ati. Gue juga lagi bete. Hari ini kita have fun aja. Ayo dong! Lelet amat sih nih anak. Ganti baju sana!”
* * *
156
“Jadi kamu pasti kembali hari ini?” tanya Young-Mi dengan ponsel yang ditempelkan di telinga. Ia mengucapkan terima kasih kepada pelayan toko yang menyerahkan barang belanjaannya dan kembali memusatkan perhatian pada Sandy yang sedang berbicara di ujung sana.
“Mm,” jawab Sandy. Suaranya kurang jelas karena sambungan internasional. “Sekarang aku sedang dalam perjalanan pulang. Dua jam lagi aku akan berangkat lagi ke bandara. Pesawatku berangkat tengah malam, jadi menurut jadwal aku akan sampai besok pagi.”
Young-Mi mendorong pintu kaca toko dan keluar. “Oke. Aku akan menjemputmu di bandara nanti.”
“Tidak usah. Aku bisa naik taksi sendiri. Bukankah kau harus membantu ibumu?”
“Biasanya tidak ada pelanggan yang datang pada jam-jam segitu,” bantah Young-Mi. “Jung Tae-Woo sedang di Amerika Serikat, jadi tidak bisa pergi menjemputmu.”
“Aku tahu. Dia pulang hari ini juga, tapi mungkin sampai di Seoul agak malam besok.”
Young-Mi meringis. “Rupanya kau masih berhubungan dengan dia. Memangnya ibumu tidak marah-marah?”
Young-Mi mendengar temannya tertawa kecil di seberang sana, lalu Sandy berkata, “Tidak, sebenarnya ibuku tidak benar-benar marah. Ibuku hanya sedih karena teringat lagi pada Lisa. Ibuku juga kesal karena kedua anak perempuannya menjadi bahan pembicaraan di Korea. Tapi sekarang gosipnya sudah mereda, kan?”
Young-Mi mengangguk, walaupun ia tahu Sandy tidak bisa melihat anggukan kepalanya. “Ya, Jung Tae-Woo sudah menyelesaikannya. Entah bagaimana. Setidaknya sekarang dia memang sibuk sekali.”
“Oh, begit—AHH!”
Young-Mi berhenti berjalan. Ia mengerutkan kening. “Halo? Halo? Soon-Hee?”
Tidak ada jawaban. Sambungan telepon sudah terputus. Young-Mi menatap ponselnya, lalu menelepon ponsel Sandy. Tidak bisa. Young-Mi mencoba sekali lagi. Tetap tidak bisa.
Awalnya Young-Mi tidak begitu merisaukan hubungan telepon yang terputus, tapi ketika tidak bisa menemukan Sandy di bandara waktu ia menjemput keesokan harinya, ia mulai cemas. Ia kembali berusaha menghubungi ponsel Sandy, tapi tetap tidak bisa tersambung.
Young-Mi kebingungan. Ia tidak tahu nomor telepon rumah Sandy di Jakarta. Ia harus menghubungi siapa? Tiba-tiba ia teringat pada SMS yang diterimanya dari Sandy dengan menggunakan ponsel saudara sepupunya. Young-Mi memeriksa ponselnya. Semoga saja SMS dari nomor ponsel sepupu Sandy itu masih ada.
157
Ah, ternyata belum dihapus. Syukurlah.
Young-Mi cepat-cepat menghubungi nomor itu dan menunggu dengan tidak sabar.
“Halo?” Terdengar jawaban dari seberang sana. Suara perempuan. Saudara sepupu Sandy atau bukan? Sepertinya memang benar.
Young-Mi berusaha menyusun kata-kata dalam bahasa Inggris secara kilat. “Hello,” katanya ragu-ragu. “Is this Soon-Hee‟s cousin?”
“Yes,” jawab perempuan itu. Suaranya terdengar aneh. “This is Tara. Who‟s speaking?”
Untunglah sepupu Sandy bisa berbahasa Inggris dengan lancar. “My name is Kang Young-Mi. Soon-Hee‟s friend from Korea,” kata Young-Mi memperkenalkan diri. “I need to ask you something. Soon-Hee told me that she would arrive in Korea today,b ut I couldn‟t find her at the airport. She couldn‟t make it?”
Begitu mendengar jawaban sepupu Sandy, mata Young-Mi terbelalak. ”Apa?! I‟m sorry... what was that? Can you say that again, please?”
Young-Mi merasa tubuhnya lemas seketika. Begitu memutuskan hubungan, ia langsung menghubungi Jung Tae-Woo melalui ponsel Park Hyun-Shik karena ia tidak punya nomor ponsel Jung Tae-Woo. Tidak tersambung. Mungkin Park Hyun-Shik dan Jung Tae-Woo sedan berada dalam pesawat yang membawa mereka pulang ke Korea dari Amerika Serikat.
Young-Mi menutup flap ponselnya dengan keras. Ia mengacak-acak rambut dengan perasaan putus asa. Ia harus segera memberitahu Jung Tae-Woo apa yang sudah terjadi pada Sandy.
“Lelah sekali,” gumam Park Hyun-Shik sambil masuk ke mobil yang sudah menunggu mereka di pintu depan bandara.
Tae-Woo menyandarkan kepala ke kursi. Sandy seharusnya sudah kembali ke Korea hari ini. Benarkah telah nyaris satu bulan berlalu sejak terakhir ia bertemu gadis itu? Hari ini ia bakal bisa menemuinya. Tae-Woo merasa semangatnya pulih kembali begitu berpikir ia bisa melihat Sandy.
Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri sejak kapan gadis itu menjadi salah satu alasannya untuk menjalani hari-hari. Karena ingin melihat dan bersama gadis itu, maka ia tetap bertahan, tetap bangun di pagi hari, tetap bernapas. Sekarang Tae-Woo bisa memahami apa artinya bila seseorang ingin tetap bertahan hidup demi orang lain. Ia sering menonton drama yang tokoh utamanya mengidap penyakit parah yang mematikan, namun ingin tetap bertahan hidup demi orang yang dicintainya. Sebelum ini, Tae-Woo tidak terlalu memahami perasaan seperti itu tapi sekarang, walaupun
158
tidak mengidap penyakit apa pun, ia ingin tetap hidup. Karena dalam hidup ini, ada seseorang yang sangat berharga baginya. Karena dalam hidup ini, ia ingin selalu bisa melihat dan bersama orang itu.
“Aneh. Teman Sandy yang bernama Kang Young-Mi itu sudah meneleponku belasan kali.”
Lamunan Tae-Woo dibuyarkan suara manajernya. Ia menoleh dan melihat Park Hyun-Shik sedang mengerutkan kening menatap ponselnya.
“Kang Young-Mi?” tanya Tae-Woo.
Park Hyun-Shik mengangguk. “Aku juga baru tahu setelah kuaktifkan ponselku kembali.”
Tae-Woo ikut mengeluarkan ponsel dan mengaktifkannya.
Tiba-tiba ponsel Park Hyun-Shik berbunyi.
“Dari Kang Young-Mi,” kata Park Hyun-Shik dan segera menjawab teleponnya.
Tae-Woo memerhatikan manajernya berbicara dengan teman Sandy itu.
“Kang Young-Mi ssi, bicaranya pelan-pelan saja. Aku tidak mengerti apa yang kaukatakan,” kata Park Hyun-Shik. “Jung Tae-Woo? ... Ya, dia ada di sini... Mau bicara dengannya? ... Oke, sebentar.”
Tae-Woo mengerutkan dahi. Mendadak saja perasaannya tidak enak. Apa ada hubungannya dengan Sandy?
Ia menerima ponsel dari Park Hyun-Shik. “Ya?”
“Jung Tae-Woo ssi, aku ingin memberitahumu lebih awal, tapi ponsel Paman Park Hyun-Shik tidak aktif dan aku tidak tahu nomor ponselmu.” Tae-Woo mendengar suara teman Sandy itu agak gugup dan kacau.
“Aku dan Hyun-Shik Hyong memang baru turun dari pesawat, jadi ponsel kami berdua tidak aktif tadi,” Tae-Woo menjelaskan. Perasaannya semakin tidak enak. “Ada apa kau mencariku?”
“Soon-Hee...”
Kenapa ia tiba-tiba merasa sulit bernapas?
“Ada apa dengan Sandy?” tanyanya. Tangannya mulai terasa dingin. Ia sendiri mulai panik. “Di mana dia?”
“Soon-Hee masih di Jakarta.”
“Dia tidak pulang hari ini? Kenapa?”
Kang Young-Mi tidak bersuara sejenak. Tae-Woo baru akan memanggilnya ketika gadis itu berbicara lagi. “Dia mengalami kecelakaan.”
“Apa?”
Kali ini penjelasan Kang Young-Mi mengalir dengan lancar. “Tadi aku sudah menelepon saudara sepupunya yang ada di Jakarta karena ponsel Soon-Hee tidak bisa
159
dihubungi. Dia yang mengatakan padaku Soon-Hee mengalami kecelakaan lalu lintas. Taksi yang ditumpanginya terlibat dalam tabrakan beruntun di jalan tol.”
Tae-Woo merasa dadanya berat sekali, susah bernapas, darahnya seolah-olah membeku begitu saja. “Bagaimana keadaannya sekarang?”
“Belum sadar.” Suara Kang Young-Mi mulai pecah. Sepertinya gadis itu mulai menangis.
Belum sadarkan diri... Ya Tuhan...
Tae-Woo berusaha keras untuk menarik napas. “Di rumah sakit mana? ... Aku mengerti... Terima kasih.”
Sandy sedang terbaring tidak sadarkan diri...
“Tae-Woo, ada apa? Sandy masuk rumah sakit?”
Tae-Woo mendengar suara Park Hyun-Shik, tapi ia tidak punya tenaga untuk menjawab. Pikirannya kalut.
“Hei, Jung Tae-Woo!”
“Aku harus ke sana,” katanya cepat tanpa memandang manajernya. “Aku harus ke Jakarta.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar