Kemudian ponsel kedua pria itu berbunyi. Pria itu meletakkan ponselnya yang pertama di meja dan mengeluarkan ponsel kedua. Jadi, di meja kasir ada ponsel pria itu dan ponsel Sandy.
Sandy teringat bentuk ponsel pria itu yang diletakkan di meja memang sama dengan bentuk ponselnya sendiri. Sebelum keluar dari toko, pria itu berbalik untuk mengambil ponsel pertamanya yang tertinggal di meja. Sekarang Sandy memegang ponsel dengan daftar nama yang tidak dikenalnya.
Otaknya mulai bisa mencerna apa yang sedang terjadi. Artinya… artinya… orang itu telah mengambil ponsel yang salah. Pria tadi mengambil ponsel Sandy.
Sandy memukul-mukul dadanya dan mengerang putus asa. “Bagaimana ini? Aduh, bisa gila aku. Gila.” Ia melihat ke kanan dan ke kiri. Mobil pria itu sudah tidak tampak. Sandy merasa tubuhnya nyaris ambruk ke tanah. Rasanya ingin menangis saja. Ke mana ia harus mencari orang itu?
Tiba-tiba ide muncul di otaknya yang sudah hampir lumpuh. Ponselnya ada pada pria itu, bukan? Berarti Sandy bisa menelepon ke ponselnya dan pria itu akan menjawab. Sebersit tenaga muncul kembali. Ia menghubungi ponselnya dengan ponsel pria tadi yang sedang dipegangnya.
Sandy berjalan mondar-mandir di tepi jalan dengan gelisah sambil menunggu hubungannya tersambung. “Cepat angkat… cepat… tolong… ce—Halo?”
“Oh, Hyong*. Kenapa lama sekali?”
Park Hyun-Shik tersenyum meminta maaf kepada laki-laki bertubuh tinggi yang membuka pintu, lalu melangkah masuk ke rumah yang sudah sering didatanginya. “Maaf, jalanan agak macet,” katanya sambil berjalan ke ruang duduk yang luas. “Hei, Tae-Woo. Punya makanan ringan? Aku sudah beli minuman.”
Jung Tae-Woo mengikuti Park Hyun-Shik ke ruang duduk. Ia tidak menghiraukan pertanyaan temannya dan balik bertanya, “Hyong sudah dengar gosipnya?”
Park Hyun-Shik memerhatikan temannya mengempaskan diri ke sofa. Tatapan Jung Tae-Woo terlihat menerawang dan cemas. Sebagai manajer Jung Tae-Woo, Park Hyun-Shik memahami alasan kekhawatirannya.
“Dari mana asal gosip itu?” kata Tae-Woo, seakan-akan bertanya pada dirinya sendiri.
Park Hyun Shik hanya tersenyum kecil dan mengulurkan sebotol soju kepadanya.
* Kakak, panggilan pria kepada pria yang lebih tua.
10
Tae-Woo membuka tutup botol itu dan meneguk isinya. “Aku dibilang gay.” Tae-Woo tertawa pahit. “Kenapa mereka bisa berpikir seperti itu? Memangnya sikapku seperti wanita? Atau aku pernah terlalu dekat dengan pria? Katakan padaku, Hyong. Jangan-jangan selama ini Hyong juga berpikir seperti mereka?”
Park Hyun-Shik duduk di kursi di hadapan Tae-Woo, ikut meneguk soju langsung dari botolnya. “Kau tahu aku tidak pernah berpikir seperti itu,” ujarnya tenang. “Masalahnya, tabloid dan majalah memang suka mencari berita. Kau juga tahu mereka sering menulis artikel yang tidak-tidak. Kau tanya padaku kenapa mereka bisa berpikir kau gay? Mungkin karena selama ini kau tidak pernah terlihat dekat dengan wanita mana pun di depan publik.”
Jung Tae-Woo mengangkat bahu. “Kalau begitu, terserah mereka mau berpikir apa. Kalau kita tidak menanggapinya, gosip itu tentu akan mereda sendiri.”
Park Hyun-Shik menggeleng. “Dua minggu lagi album barumu akan diluncurkan. Aku takut rumor ini bisa memengaruhi penjualan albummu nantinya. Satu gosip bisa menimbulkan gosip-gosip lain. Bahkan masalah lama juga bisa diungkit-ungkit. Produsermu tidak akan senang. Ditambah lagi, bagaimana dengan para penggemarmu? Apa yang akan mereka pikirkan? Kau bisa kehilangan pasar.”
Jung Tae-Woo mendongak menatap langit-langit dan mengembuskan napas berat. “Lalu bagaimana?”
Park Hyun-Shik meneguk minumannya lagi dan berkata, “Untuk masalah gosip gay itu, kurasa sudah saatnya bagimu untuk memperkenalkan seorang wanita kepada publik.”
Kepala Tae-Woo berputar cepat ke arah Park Hyun-Shik. “Apa?”
“Sederhana saja. Kenapa kau tidak mulai pacaran?” usul Park Hyun-Shik langsung.
“Apa?”
Park Hyun-Shik tidak memandang Jung Tae-Woo dan melanjutkan dengan nada serius, “Yang penting jangan berpacaran dengan artis. Bisa jadi skandal. Terlalu berisiko. Kita juga tidak bisa segera membuat pengumuman resmi kepada wartawan bahwa kau sedang menjalin hubungan dengan wanita karena mereka pasti curiga dan akan menduga itu hanya sandiwara untuk mengelak dari gosip gay.”
Park Hyun-Shik mengerutkan kening dan tenggelam dalam pikiran. Akhirnya ia menoleh dan mendapati Tae-Woo sedang menunggu hasil renungannya.
“Baiklah,” katanya sambil tersenyum. “Kita misalkan saja bahwa sebenarnya kau punya kekasih tapi kekasihmu tidak bersedia diekspos, jadi kau terpaksa merahasiakan hubungan kalian. Dengan begitu, tidak ada yang tahu siapa wanita itu dan tidak ada yang pernah melihatnya.”
11
Tae-Woo mengerutkan kening karena bingung. “Tidak ada yang pernah melihat dan tidak ada yang tahu. Apa untungnya begitu? Orang-orang tidak akan percaya pada sekadar kata-kata belaka.”
“Tapi kita bisa memberikan bukti.”
“Bukti apa?”
“Foto dirimu bersama wanita itu.”
“Wanita yang mana?”
“Wanita yang menjadi kekasihmu.”
“Kekasih yang mana?”
“Semua bisa diatur kalau memang kau mau.”
“Maksudnya?”
Senyum Park Hyun-Shik bertambah lebar. “Kita cari wanita yang tidak dikenal siapa pun dan memintanya menjadi kekasihmu selama beberapa saat. Kau hanya perlu memamerkannya di depan wartawan. Beres, bukan?”
Tae-Woo merenung, lalu berkata, “Bagaimana kalau wartawan mulai menyelidiki asal-usul wanita itu? Lagi pula di mana kita cari wanita yang bersedia dan bisa dipercaya untuk diajak bekerja sama? Masa dipilih sembarangan?”
Park Hyun-Shik meneguk soju-nya lagi dan menatap Tae-Woo. Temannya itu tampak mempertimbangkan usulnya dengan ekspresi sangat cemas. Alisnya berkerut, sesekali ia menggigit bibir bawahnya.
Setelah beberapa saat, Tae-Woo mendesah dan melanjutkan, “Wanita yag seperti apa yang akan kita pilih? Boleh aku pilih sendiri? Atau kita pilih saja wanita pertama yang berjalan melewati pintu itu?” Ia menunjuk pintu depan rumahnya dengan dagu.
Tawa Park Hyun-Shik meledak. Tae-Woo menatapnya dengan pandangan bingung. “Hyong, ada apa?”
Park Hyun-Shik mendorong pelan bahu Tae-Woo. “Astaga, Tae-Woo. Aku hanya bercanda. Kenapa kau serius begitu?”
“Apa?”
Park Hyun-Shik menggeleng-geleng. “Aku hanya bercanda soal usul tadi. Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Pasti ada jalan keluarnya.”
Tae-Woo mendengus, lalu tertawa kecil. “Ah, pusing! Aku mau keluar jalan-jalan sebentar. Hyong mau ikut?” kata Tae-Woo sambil merebahkan kepala di sandaran sofa dan memandang langit-langit ruang duduk.
Park Hyun-Shik mengangkat bahu. “Oke.”
Tae-Woo mengayun-ayunkan botol soju yang sedang dipegangnya, lalu bertanya, “Oh, Hyong, ponselku sudah diperbaiki belum?”
12
Park Hyun-Shik mengeluarkan ponsel dan mengulurkannya kepada Tae-Woo. Tiba-tiba ia teringat pada telepon yang diterimanya dalam perjalanan ke rumah Tae-Woo tadi. Wanita yang mengaku bernama Han Soon-Hee itu berkata ponsel mereka tertukar. Karena ia sendiri tidak bisa kembali mengambilnya, Park Hyun-Shik meminta wanita itu datang ke rumah Jung Tae-Woo. Mungkin permintaannya agak keterlaluan karena bagaimanapun tertukarnya ponsel mereka bukan salah wanita itu, tapi apa boleh buat. Jung Tae-Woo sedang uring-uringan dan kalau sedang uring-uringan, ia tidak suka menunggu lama.
Ia baru akan menceritakan hal ini kepada Tae-Woo ketika bel pintu berbunyi.
“Siapa yang datang malam-malam begini?” gumam Tae-Woo heran.
Sandy benar-benar tidak mengerti kenapa hari ini ia sial sekali. Mungkin begitu sampai di rumah ia harus cepat-cepat mandi kembang tujuh warna seperti yang pernah diajarkan ibunya, apa pun untuk mengguyur hingga tak bersisa segala kesialan. Sekarang ia berdiri di depan pintu rumah besar berwarna putih. Pria yang katanya bernama Park Hyun-Shik menyuruhnya kemari untuk mengambil ponselnya yang tertukar. Sandy jengkel. Kenapa ia yang harus datang, bukankah orang itu yang duluan mengambil ponsel yang salah? Ia bahkan sampai harus meminjam uang dari bibi pemilik toko supaya bisa naik bus, ditambah harus berjalan kaki untuk sampai di kawasan perumahan elite ini.
Sandy kembali menghembuskan napas. Sudahlah, tidak apa-apa. Hal terpenting sekarang adalah mendapatkan ponselnya kembali. Setelah ini ia bakal bisa bergegas pulang. Hari sudah semakin larut dan ia sudah menguap empat kali dalam lima belas menit terakhir.
Pintu terbuka dan Sandy mengenali wajah pria yang membuka pintu itu. Ia pria yang ada di toko tadi. Walaupun agak sulit, Sandy memaksakan seulas senyum sopan. Pipinya terasa agak kaku, tapi ia berharap senyumnya terlihat normal.
“Apa kabar? Saya Han Soon-Hee yang tadi menelepon. Saya ingin mengembalikan ponsel Anda. Ini.” Sandy mengulurkan tangannya yang memegang ponsel.
“Oh, terima kasih banyak,” kata pria itu ramah. “Saya benar-benar minta maaf karena sudah merepotkan. Silakan masuk. Ponsel Anda ada di dalam.”
Sebenarnya Sandy tahu ia tidak boleh masuk ke rumah pria yang tidak ia kenal, apalagi pada jam selarut ini. Tapi otaknya sudah tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya dan ia hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan masalah supaya bisa pulang ke rumah dan tidur. Lagi pula pria itu kelihatannya sangat baik.
Sandy melangkah masuk dan membiarkan dirinya dibawa ke ruang duduk luas dengan perabotan mewah. Di sofa panjang yang mendominasi ruang tamu itu duduk laki-laki yang sedang berbicara di telepon. Wajahnya tampan, potongan rambutnya bagus dan rapi, walaupun Sandy pribadi tidak terlalu suka dengan warna rambut yang agak pirang. Ia merasa pernah melihat laki-laki itu. Tapi di mana ya?
“Mungkin Anda salah sambung,” Sandy mendengar pria itu berkata di ponselnya. “Tidak ada yang namanya Han Soon-Hee atau Sandy di sini.”
Sandy menatap Park Hyun-Shik dengan pandangan bertanya sambil menunjuk ke arah ponsel yang sedang dipegang laki-laki tampan di sofa itu.
“Ya, itu ponsel Anda,” kata Park Hyun-Shik sambil tersenyum kecil.
Laki-laki yang duduk di sofa masih sibuk sendiri, tidak menyadari kedatangan Sandy. Keningnya tampak berkerut sebal. Ia berkata dengan nada agak marah. “Maaf, Lee Jeong-Su ssi*, saya benar-benar tidak mengenal Anda. Saya juga tidak kenal Han Soon-Hee. Bagaimana saya bisa meminta dia menjawab telepon? Anda salah sambung.”
Selesai berkata seperti itu, laki-laki itu menutup flap ponselnya dengan keras. “Orang aneh,” ia menggerutu sendiri.
“Hei…,” Sandy mendengar Park Hyun-Shik memanggil laki-laki itu. “Ponsel itu milik nona ini.”
Laki-laki di sofa itu berpaling ke arah Park Hyun-Shik, lalu ke arah Sandy. Ketika mata mereka bertemu, Sandy baru sadar siapa laki-laki itu.
Jung Tae-Woo agak bingung mendengar penjelasan Park Hyun-Shik. Pandangannya berpindah-pindah dari sang manajer ke gadis yang berdiri di hadapannya, lalu kembali ke manajernya lagi. Secara sekilas, ia mengamati orang asing yang sekarang ada di ruang tamunya itu: gadis bertubuh kecil dengan rambut dikucir dan tangan menjinjing kantong plastik besar serta tas tangan. Raut wajahnya terlihat kusam, lelah, dan pucat. Gadis itu diam tak bersuara sementara Park Hyun-Shik menjelaskan apa yang sudah terjadi.
“Oh, jadi ini ponsel Anda?” tanya Tae-Woo sambil bangkit dari sofa. Ia mengulurkan ponsel yang sedang dipegangnya. “Itu… tadi—siapa namanya, maaf, saya lupa—menelepon mencari Han Soon-Hee atau Sandy. Anda sendiri Han Soon-Hee atau Sandy?”
Gadis itu tersenyum samar dan menjawab, “Dua-duanya nama saya.”
*Partikel dalam bahasa Korea untuk menyatakan rasa hormat.
14
Tiba-tiba ponsel itu berbunyi dan membuat Tae-Woo tersentak kaget. “Silakan dijawab,” katanya cepat.
Han Soon-Hee menerima ponsel itu dan langsung membuka flap-nya. “Halo?”
Kemudian Tae-Woo dan Park Hyun-Shik tertegun ketika mendengar gadis itu berbicara dalam bahasa asing. Tae-Woo yakin percakapan tersebut bukan dalam bahasa Inggris ataupun Jepang karena ia menguasai kedua bahasa itu. Entah bahasa apa yang sedang dipakai gadis itu, pokoknya ia berbicara lancar sekali. Tae-Woo menoleh ke arah manajernya untuk bertanya dan sebagai jawaban Park Hyun-Shik menggeleng.
Percakapan itu tidak berlangsung lama. Setelah menutup telepon si gadis memandang Park Hyun-Shik dan Tae-Woo bergantian dengan sikap serbasalah. Sambil tersenyum kaku ia berkata, “Ehm, terima kasih banyak. Saya pulang dulu.”
“Tunggu,” Park Hyun-Shik menyela. Gadis itu memandangnya tanpa ekspresi. “Kalau boleh tahu, yang tadi itu bahasa apa?”
“Bahasa Indonesia,” jawab gadis itu langsung.
“Oh, begitu.” Park Hyun-Shik tersenyum dan mengangguk-angguk karena sepertinya gadis itu tidak ingin menjelaskan lebih lanjut. “Anda bisa berbahasa Indonesia rupanya.”
“Saya permisi,” kata gadis itu lagi sambil beranjak ke pintu.
“Sebentar,” Park Hyun-Shik kembali menahan gadis itu. Ia memandang Tae-Woo sekilas, lalu kembali memandang gadis itu. “Anda tidak datang dengan mobil, bukan? Tadi saya lihat tidak ada mobil di luar. Begini saja, kebetulan kami juga mau keluar. Bagaimana kalau Anda kami antar? Saya merasa tidak enak karena Anda harus mengantar ponsel itu kemari.”
Gadis itu tersenyum kaku dan menggoyang-goyangkan sebelah tangannya. “Tidak usah. Saya bisa naik bus.”
“Kami bisa mengantar Anda ke halte bus,” timpal Tae-Woo. Ia tidak yakin gadis itu bisa pulang sendiri karena bila dilihat dari keadaannya sekarang, gadis itu sepertinya bisa jatuh pingsan kapan saja. “Anggap saja sebagai tanda terima kasih sekaligus tanda maaf dari kami.”
Gadis itu memandang mereka berdua bergantian dengan matanya yang besar. Raut wajahnya tampak bimbang. Sepertinya otaknya sedang berputar, mencari cara untuk menolak tawaran itu. Tae-Woo bisa memahaminya. Seorang gadis yang langsung bersedia diantar dua pria tidak dikenal sudah pasti gadis yang tidak beres.
“Tidak usah khawatir. Kami tidak akan macam-macam. Percayalah,” kata Tae-Woo sambil tersenyum lebar, walaupun ia tahu pasti kalimat itu terdengar tidak terlalu meyakinkan.
15
“Oh, bukan. Saya tidak bermaksud begitu,” kata gadis itu sambil menggoyang-goyangkan tangannya lagi.
“Ayo, biar kami antar sampai ke halte bus,” sela Tae-Woo sambil meraih kunci mobil manajernya yang ada di meja. Ia menoleh ke arah Park Hyun-Shik. “Hyong, kita pakai mobilmu saja, ya?”
Sepanjang perjalanan gadis itu lebih banyak diam. Bila diajak bicara, ia hanya menjawab seperlunya. Tae-Woo melirik manajernya yang sedang menyetir dan melirik ke kaca spion untuk mencuri pandang ke kursi belakang. Gadis itu duduk bersandar dan memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong. Tae-Woo ingin tahu apa yang membuat gadis itu terlihat begitu lelah.
Tiba-tiba gadis itu membuka suara, “Saya turun di depan sini saja.”
Jung Tae-Woo membalikkan tubuhnya sedikit supaya bisa melihat gadis itu. “Di sini saja? Yakin tidak mau kami antar sampai di rumah?”
“Benar, kami tidak keberatan,” Park Hyun-Shik menambahkan.
Gadis itu menyunggingkan seulas senyum yang terkesan dipaksakan. “Tidak usah. Berhenti di sini saja.”
Park Hyun-Shik menghentikan mobilnya di tepi jalan, di dekat halte bus.
“Terima kasih,” kata gadis itu sambil keluar dari mobil. “Selamat malam.”
Ketika gadis itu membungkuk untuk memberi salam kepada mereka berdua, Park Hyun-Shik menurunkan kaca mobil dan bertanya, “Nona Han Soon-Hee, ada yang ingin saya tanyakan. Apakah Anda mengenal teman saya ini?”
Tae-Woo menyadari manajernya sedang menunjuk ke arahnya.
Han Soon-Hee mengerjapkan matanya sekali, lalu mengangguk. “Orang ini? Jung Tae-Woo, bukan? Jung Tae-Woo yang penyanyi itu?” Lalu seakan baru menyadari sesuatu, ia memandang Tae-Woo dan berkata, “Lagu Anda… lagu Anda… bagus.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar