Senin, 17 November 2014

BAB 2 PART 1

Dua
“‟LAGU Anda bagus‟?”
Sandy yang duduk bersila di tempat tidur dengan selimut membungkus tubuh menatap bingung Kang Young-Mi yang duduk di sampingnya. Temannya yang bermata sipit dan berambut lurus panjang tergerai melewati bahu itu balas menatap Sandy dengan kedua tangan terlipat di dada.
“Aku tidak percaya kau hanya bisa berkata begitu. Kenapa tidak minta tanda tangannya?” Young-Mi melanjutkan dengan nada menuduh.
Sandy mengerang. “Mungkin karena kemarin aku sedang kesal dan lelah… dan lumpuh otak.” Ia memegang pipinya yang agak pucat dan menggeleng-geleng. “Betul, sepertinya otakku benar-benar sudah lumpuh semalam. Bagaimana bisa aku masuk ke mobil bersama dua laki-laki yang tidak kukenal? Dan saat itu sudah hampir tengah malam. Astaga, apa yang sudah kulakukan? Aku bukan orang seperti itu. Tidak, tidak. Aku sudah gila. Syukurlah aku masih beruntung. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa kemarin?”
Kayng Young-Mi mendecakkan lidah. “Hei, kau bukannya bersama orang asing. Kau bersama Jung Tae-Woo. Kenapa kau tidak minta tanda tangannya?” tanyanya sekali lagi, nada penyesalan kental terdengar.
“Jung Tae-Woo orang asing bagiku,” cetus Sandy tegas. “Lagi pula kau tahu sendiri aku bukan penggemarnya, kenapa aku harus minta tanda tangannya?”
“Walaupun bukan penggemarnya, kau kan tahu temanmu yang satu ini penggemar beratnya,” tegur Young-Mi lagi sambil menekankan telapak tangan di dada. “Aku sudah begitu setia menunggu kemunculannya lagi selama empat tahun ini. Setidaknya kau bisa minta tanda tangannya untukku… Tidak semua orang bisa bertemu langsung
17
dengan Jung Tae-Woo, kau tahu? Dan kemarin, entah dengan keajaiban apa, kau bertemu dengannya, kau bicara dengannya, dan dia bahkan mengantarmu dengan mobilnya.”
“Mobil temannya,” sela Sandy. “Temannya juga ada di sana.”
Young-Mi tidak mengacuhkan Sandy. “Kau naik mobil bersamanya. Haah, kalau aku jadi kau, aku akan—“
“Hei, Kang Young-Mi!”
Sikap Young-Mi melunak. “Aku tahu, aku tahu. Tapi kalau lain kali kau bertemu dengannya, jangan lupa minta tanda tangan untukku.”
Sandy membaringkan diri ke tempat tidur. “Kalau aku bertemu dengannya lagi,” gumamnya lirih. Pandangannya menerawang. “Kalau aku bertemu dengannya lagi.”
Young-Mi bermain-main dengan salah satu ujung selimut Sandy lalu tiba-tiba menyeletuk,” Oh ya, kudengar Jung Tae-Woo itu sebenarnya gay. Aku tidak tahu gosip itu benar atau tidak, meski aku bisa mati karena kecewa kalau dia benar-benar gay. Kemarin kau bertemu langsung dengannya. Menurutmu bagaimana? Sikapnya seperti apa? Apakah dia kelihatan normal-normal saja? Terlihat berbeda? Apakah penampilannya berubah setelah bertahun-tahun menghilang?”
Sandy mengerutkan kening dan berpikir. “Entahlah, aku tidak merasa ada yang aneh pada dirinya. Biasa saja. Aduh, aku kan sudah bilang bahwa kemarin aku lumpuh otak. Aku bahkan tidak ingat lagi baju apa yang dipakainya.”
Young-Mi menatap prihatin temannya. “Kau benar-benar tidak berguna. Hanya kau yang bisa demam di musim panas seperti ini. Kepalamu masih sakit? Sudah baikan, belum?”
Sandy tidak menjawab pertanyaan itu. Ia sedang memikirkan hal lain. Kemudian ia menggigit bibir dan bertanya, “Young-Mi, sebenarnya apa yang kau suka dari Jung Tae-Woo? Kenapa kau begitu tergila-gila padanya?”
Senyum Kang Young-Mi mengembang. “Karena dia tampan, lucu, pandai menyanyi—aduh, suaranya bagus sekali—dan karena dia menulis lagu-lagu yang begitu romantis dan menyentuh. Oh ya, album barunya akan diluncurkan sebentar lagi. Ah, aku sudah tidak sabar.”
“Begitu?”
Tiba-tiba Young-Mi memekik dan membuat Sandy terperanjat.
“Kenapa? Ada apa?” tanya Sandy begitu melihat Young-Mi meraih tasnya yang tergeletak di lantai dengan kasar dan mulai mencari-cari sesuatu di dalamnya.
“Bodohnya aku, bodohnya aku,” gumam Young-Mi berulang-ulang. “Seharusnya aku langsung tahu begitu kau menceritakannya padaku.”
“Apa?” tanya Sandy heran.
18
Young-Mi mengeluarkan tabloid dan membuka-buka halamannya. “Nah, coba kau lihat ini.”
sandy melihat artikel berjudul “Pertemuan Tengah Malam” yang ditunjukkan Young-Mi dan mendadak ia merinding. Artikel itu dilengkapi dua foto Jung Tae-Woo bersama seorang wanita. Wajah wanita itu tidak terlihat jelas, tapi Sandy sudah tentu bisa mengenali dirinya sendiri. Wanita yang bersama Jung Tae-Woo di dalam foto itu adalah dirinya. Astaga! Apa-apaan ini?
Foto pertama memperlihatkan Sandy dan Jung Tae-Woo yang sedang keluar dari rumah artis itu. Kepala Sandy tertunduk ketika difoto sehingga wajahnya tidak terlihat. Sandy ingat saat itu teman Jung Tae-Woo masih berada di dalam rumah sehingga orang itu tidak ikut terfoto.
Foto yang kedua diambil ketika Jung Tae-Woo sedang membuka pintu mobil untuknya. Sosoknya tidak jelas karena terhalang tubuh Jung Tae-Woo. Sandy merasa bersyukur karena wajahnya tidak terlihat.
“Aku sempat melupakan tabloid ini ketika aku mendengar kau sakit,” kata Young-Mi menjelaskan. “Seharusnya aku sudah bisa menduga ketika kau menceritakan apa yang kaualami semalam tadi, tapi anehnya hari ini kerja otakku lambat sekali. Wanita yang di foto itu kau, bukan?”
“Astaga,” gumam Sandy tidak percaya. “Siapa yang mengambil foto-foto ini?”
“Jung Tae-Woo itu artis terkenal,” kata Young-Mi dengan nada aku-tahu-semua-jadi-percaya-saja-padaku. “Tentu saja banyak wartawan yang sibuk mencari berita tentang dirinya. Dan yang satu ini benar-benar berita hebat. Di sini malah ditulis kau kekasih Jung Tae-Woo.”
Sandy menggeleng-geleng dan mengembalikan tabloid itu kepada Young-Mi. Ia masih merinding, “Aku tidak berdua saja dengan Jung Tae-Woo. Paman berkacamata itu, teman Jung Tae-Woo, juga ada bersama kami, seharusnya siapa pun yang mengambil foto ini juga tahu, tapi kenapa jadi begini?”
Kang Young-mi menarik napas panjang. “Sudah kubilang, Jung Tae-Woo itu artis terkenal. Tabloid-tabloid harus mencari berita yang bisa menarik perhatian orang. Kalau kalian bertiga yang ada dalam foto itu, tidak akan ada berita.”
Sandy merasa tubuhnya menggigil. “Untunglah wajahku tidak terlihat. Young-Mi, kuharap kau tidak akan memberitahu siapa pun tentang pertemuanku dengan Jung Tae-Woo.”
Alis Young-Mi terangkat. “Kenapa?”
Sandy mengerutkan kening dan menggaruk kepala. “Enak saja mereka membuat gosip sembarangan. Kekasihnya? Aku? Aku tidak mau terlibat dengan urusan seperti gosip artis…”
19
“Kepalamu masih sakit?” tanya Young-Mi ketika melihat Sandy terdiam sambil memegang dahi.
Sandy menggeleng dan tersenyum. “Tidak, aku sudah baikan. Sepertinya gara-gara kecapekan ditambah stres, akhirnya demam. Tapi sekarang aku sudah tidak apa-apa Young-Mi, kau pulang saja dan bantu ibumu. Sekarang kan jam makan siang. Rumah makan ibumu pasti sedang ramai.”
“Ibuku juga mencemaskanmu, jadi aku diizinkan tinggal lebih lama. Oh ya, ibuku sudah memasak bubur untukmu. Tadi aku taruh di dapur. Kau harus makan, mengerti?” kata Young-Mi sambil mengambil tasnya yang ada di lantai. Ia meletakkan tangannya di kening Sandy dan bergumam, “Sudah tidak panas, tapi tetap harus minum obat. Nanti sore aku akan menjengukmu lagi. Kalau ada apa-apa, telepon aku.”
“Kau baik sekali, Young-Mi,” kata Sandy sambil tersenyum. “Sampaikan terima kasihku pada ibumu karena sudah memasak bubur untukku. Ah, tidak usah. Sebaiknya aku sendiri yang meneleponnya dan berterima kasih. Oh ya, kau harus ingat, soal pertemuanku dengan Jung Tae-Woo kemarin malam, jangan kaukatakan pada siapa pun.”
“Ya, ya, aku tahu. Kau tenang saja. Istirahat yang banyak ya. Sampai jumpa,” kata Young-Mi sebelum keluar dari kamar Sandy.
Jung Tae-Woo berdiri tegak di dekat jendela besar ruangan kantor manajernya yang berada di lantai 20 gedung pencakar langit. Ia memandang ke luar jendela dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Ia tidak sedang menikmati pemandangan kota Seoul seperti yang sering dilakukannya pada hari-hari biasa. Pagi ini sebuah tabloid lagi-lagi memuat artikel yang mengomentari gosip gay-nya. Gosip itu merambat dengan kecepatan tinggi. Tidak lama lagi ia pasti akan dimintai penjelasan. Wartawan-wartawan akan mengejarnya… menanyainya… menuntut tanggapannya. Itulah risiko menjadi artis. Kenangan buruk masa lalu itu muncul lagi. Ketika para wartawan mengajukan ribuan pertanyaan tanpa henti, ketika ia merasa begitu frustrasi dan harus bersembunyi untuk menenangkan diri. Kini, dengan adanya gosip baru itu, hari-hari penuh perjuangan akan kembali dimulai… atau apakah sebenarnya sudah dimulai?
“Oh, Tae-Woo, sudah datang rupanya.”
Tae-Woo begitu sibuk dengan pikirannya sendiri sampai-sampai ia tidak menyadari manajernya sudah masuk ke kantor itu.
Park Hyun-Shik berjalan ke meja kerjanya dan meletakkan map biru di meja. “Sudah lama?”
20
Tae-Woo menggeleng dan menghampiri kursi di depan meja. “Baru saja sampai. Ada apa menyuruhku kemari pagi-pagi?”
Park Hyun-Shik menyampirkan jasnya di sandaran kursi lalu membuka map yang tadi diletakkannya di meja. Ia mengeluarkan tabloid dari dalamnya dan menyodorkannya kepada Tae-Woo.
Tae-Woo menerima tabloid yang disodorkan dengan bingung, namun begitu melihat artikel yang ada di sana, raut wajahnya berubah. “Apa-apaan ini? Bagaimana mereka bisa… Ini—“
Tae-Woo memandang manajernya dan yang ditatap mengangguk. “Benar. Ini foto yang diambil kemarin malam ketika kita mengantar gadis itu.”
Dengan kesal Tae-Woo melemparkan tabloid itu ke meja. “Bagus, satu gosip masih tidak cukup rupanya.” Ia duduk dan bersandar di kursi. “Bagaimana mereka bisa mendapatkan foto-foto ini? Apakah menurut Hyong, gadis yang kemarin itu ada hubungannya dengan masalah ini?”
Manajernya menggeleng pelan. “Tidak, kurasa tidak. Meski kemungkinan seperti itu tetap ada, sekecil apa pun, tapi menurutku tidak begitu.”
Tae-Woo mengusap-usap dagu sambil merenung. Ia harus mengakui gadis yang kemarin itu tidak mungkin ada hubungannya dengan gosip ini, tapi…
“Gadis yang kemarin itu, Han Soon-Hee… aku sudah menyelidikinya,” kata Park Hyun-Shik sambil mengulurkan sehelai kertas kepada Tae-Woo. Ia lalu melanjutkan, “Sedang kuliah tahun ketiga dan bekerja sambilan di butik seorang perancang busana. Ibunya orang Indonesia dan ayahnya orang Korea. Ayahnya kepala cabang perusahaan mobil dan ibunya ibu rumah tangga. Dia anak tunggal, lahir di Jakarta dan tinggal di sana sampai usianya sepuluh tahun, lalu karena kontrak kerja ayahnya sudah selesai, mereka sekeluarga pindah ke Seoul. Lima tahun yang lalu orangtuanya pindah kembali ke Jakarta karena ayahnya ditugaskan lagi di sana, sedangkan dia tetap tinggal di Seoul. Latar belakangnya bersih dan sederhana.”
Tae-Woo membaca tulisan pada kertas yang dipegangnya dan tertawa kecil. “Dari mana Hyong mendapatkan semua informasi ini? Sampai tinggi dan berat badannya ada.”
Park Hyun-Shik hanya tersenyum dan mengeluarkan sehelai kertas lain dari dalam mapnya lalu mulai membaca, “Menurut orang-orang yang kenal baik dengannya, Han Soon-Hee wanita baik-baik dan bisa dipercaya. Tidak merokok, tidak pernah mabuk-mabukan, tidak memakai obat-obat terlarang, dan tidak punya catatan kriminal apa pun. Jadi aku berani menyimpulkan dia tidak ada sangkut pautnya dengan foto-foto di tabloid itu.” Lalu ia menyodorkan kertas itu.
Tae-Woo menerima kertas yang disodorkan manajernya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar