Kamis, 24 Maret 2016

BAB IV : HUKUM PERIKATAN

A.    PENGERTIAN PERIKATAN
Mengenai perikatan, disebutkan dalam Pasal 1233 KUHPerdata bahwa perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang.

Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya “Hukum Perjanjian”  membedakan pengertian antara perikatan dengan perjanjian. Subekti menyatakan bahwa hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, di samping sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu.
Jika dirumuskan, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), dalam bidang hukunm keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession), dalam bidang hukum pribadi (personal law).
Perikatan yang terdapat dalam bidang hukum ini disebut perikatan dalam arti luas. Perikatan yang terdapat dalam bidang- bidang hukum tersebut di atas dapat dikemukakan contohnya sebagai berikut:
a)       Dalam bidang hukum kekayaan, misalnya perikatan jual beli, sewa menyewa, wakil tanpa kuasa (zaakwaarneming), pembayaran tanpa utang, perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain.
b)       Dalam bidang hukum keluarga, misalnya perikatan karena perkawinan, karena lahirnya anak dan sebagainya.
c)       Dalam bidang hukum waris, misalnya perikatan untuk mawaris karena kematian pewaris, membayar hutang pewaris dan sebagainya.
d)       Dalam bidang hukum pribadi, misalnya perikatan untuk mewakili badan hukum oleh pengurusnya, dan sebagainya.
Sistem Hukum Perikatan
Pengaturan Hukum Perikatan dilakukan dengan “Sistem Terbuka”, artinya setiap orang boleh mengadakan perikatan apa saja baik yang sudah ditentukan namanya maupun yang belum ditentukan namanya dalam undang-undang. Tetapi keterbukaan itu dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak bertentangan dengan undang-undang, dengan kesusilaan, dan dengan ketertiban umum.
B.     DASAR HUKUM PERIKATAN
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2. Perikatan yang timbul dari undang-undang
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
1. Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.

Unsur-Unsur dalam Hukum Perikatan:
•Unsur hubungan hukum dalam hukum perikatan
•Unsur kekayaan dalam hukum perikatan
•Unsur pihak-pihak dalam hukum perikatan
•Unsur obyek hukum atau prestasi dalam hukum perikatan
•Unsur Schuld dan Unsur Haftung dalam Hukum Perikatan

C.    ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERIKATAN
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
1.Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 
2.Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. 
3.Asas Kepribadian : 1315 dan 1340 KUHPerdata.
 Pengecualian : 1792 KUHPerdata
1317 KUHPerdata
 Perluasannya yaitu Ps. 1318 KUHPerdata.
Asas Pacta Suntservanda® asas kepastian hukum: 1338: 1 KUHPerdata.


D.     HAPUSNYA PERIKATAN
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
1.Pembaharuan utang (inovatie)
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
2.Perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata).
3.Pembebasan Utang
pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.
4.Musnahnya barang yang terutang
5.Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.
Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan.
6.Kedaluwarsa
Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dari ketentuan Pasal tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam lampau waktu, yaitu :
1.lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu barang
2.lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan

Adapun syarat-syarat dari sah-nya suatu perjanjian, yakni:
•Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut. 
•Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan. 
•Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak. 
•Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum





SUMBER:




BAB III : HUKUM PERDATA YANG BERLAKU DI INDONESIA

A.    Hukum Perdata yang Berlaku di Indonesia
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum agama, dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana berbasis pada hukum Eropa, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum agama karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau syariat Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan, dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah nusantara.
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum.Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara pendudukatau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW) yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan asas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia-Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku diPerancis dengan beberapa penyesuaian.
B.     Pengertian dan Keadaan Hukum Perdata
Hukum Perdata ialah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan di dalam masyarakat.
Perkataan Hukum Perdata dalam arti yang luas meliputi semua Hukum Privat materiil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari Hukum Pidana.
Pengertian dari Hukum Perdata ialah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antara perseorangan di dalam masyarakat dan kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan. Dalam arti bahwa di dalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan seseuatu pihak secara timbale balik dalam hubungannya terhadap orang lain di dalam suatu masyarakat tertentu.
Keadaan hukum perdata dewasa ini di Indonesia.

Mengenai keadaan hukum perdata dewasa ini di Indonesia dapat kita katakana masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka warna. Penyebab dari keanekaragaman ini ada 2 faktor yaitu :
1. factor ethnis disebabkan keaneka ragaman hukum adat bangsa Indonesia karena Negara kita Indonesia ini terdiri dari beberapa suku bangsa.
2. factor hostia yuridis yang dapat kita lihat, yang pada pasal 163.I.S. yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga golongan, yaitu :
• golongan eropa dan yang dipersamakan.
• Golongan bumi putera ( pribumi / bangsa Indonesia asli ) dan yang dipersamakan.
• Golongan timur asing ( bangsa cina, India, arab ).
            Dan pasal 131.I.S. yaitu mengatur hukum-hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yang tersebut dalam pasal 163 I.S. diatas .
Adapun hukum yang diperlakukan bagi masing-masing golongan yaitu :
• Bagi golongan eropa dan yang dipersamakan berlaku huku perdata dan hukum dagang barat yang diselenggarakan dengan hukum perdata dan hukum dagang di negara belanda berdasarkan azas konkordinasi.
• Bagi golongan bumi putera dan yang dipersamakan berlaku hukum adat mereka. Yaitu hukum yang sejak dahulu kala berlaku di kalangan rakyat, dimana sebagian besar dari hukum adat tersebut belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat.
• Bagi golongan timur asing berlaku hukum masing-masing , dengan catatan bahwa golongan bumi putera dan timur asing diperbolehkan untuk menundukan diri kepada hukum eropa barat baik secara keseluruhan maupun untuk macam tindakan hukum tertentu saja.
Peraturan – peraturan yang secara khusus dibuat untuk bangsa Indonesia seperti :
• Ordonansi perkawinan bangsa Indonesia Kristen ( staatsblad 1933 bno 7.4 ).
• Organisasi tentang maskapai andil Indonesia ( IMA ) Staatsblad 1939 no 570 berhubungan dengan no 717.
Dan ada pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga Negara , yaitu :
• Undang-undang hak pengarang ( auteurswet tahun 1912 ).
• Peraturan umum tentang koperasi ( saatsblad 1933 no 108 ).
• Ordonansi woeker ( saatsblad 1938 no 523 ).
• Ordonansi tentang pengangkutan di udara ( staatsblad 1938 no 98 ).
C.    Sistematika Hukum Perdata
Sistematika Hukum Perdata terdapat 2 (dua) versi antara lain

1. Sistematika menurut pembentuk undang-undang :
BUKU I
Berjudul Perihal Orang (van Personen) yang memuat Hukum Perorangan (Hukum Pribadi) dan Hukum Kekeluargaan.
BUKU II
Berjudul Perihal Benda (van Zaken) yang memuat Hukum Benda dan Hukum Waris
BUKU II
Berjudul Perihal Perikatan (van Verbintenissen) yang memuat Hukum Harta Kekayaan yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
BUKU IV
Berjudul Pembuktian dan Daluwarsa atau Lewat Waktu (van Bewijs en Verjaring) yang memuat perihal alat pembuktian dan akibat lewat waktu terhadap hubungan hukum.


2. Sistematika menurut ilmu pengetahuan hukum (doktrin)

Hukum Perorangan (personenrecht) atau Hukum Pribadi
Mengatur tentang : kedudukan pribadi seseorang sebagai subjek hukum.

Hukum Keluarga (Familierecht)
Mengatur tentang : hubungan seseorang dengan sesorang lainnya karena perkawinan

Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht)
Mengatur tentang : hubungan-hubungan hukum yang dapat dimiliki dengan uang

Hukum Waris (Efrecht)
Mengatur tentang : pembagian dan cara-cara beralihnya harta peninggaln sesorang kepada ahli warisnya



SUMBER :

Komariah Hukum Perdata, Malang UMM, 2012

BAB II : SUBYEK DAN OBJEK HUKUM

A.    SUBYEK HUKUM
Subyek hukum ialah pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadi subyek hukum dalam sistem hukum Indonesia, yang sudah barang tentu berdasar dari sistem hukum Belanda, ialah individu (orang) dan badan hukum (perusahaan, organisasi, institusi). Prof. Subekti mengatakan bahwa SUBYEK HUKUM adalah pembawa hak atau subyek hukum di dalam hukum yaitu “orang’. Dengan perkataan lain, yang dapat menjadi SUBYEK HUKUM adalah sebagai sebagai penyandang hak dan kewajiban, baik sebagai subyek hukum atau sebagai orang.
Dalam dunia hukum, subyek hukum dapat diartikan sebagai pembawa hak, yakni manusia dan badan hukum.
1. Manusia (naturlife persoon) Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi subyek hukum secara kodrati atau secara alami. Anak-anak serta balita pun sudah dianggap sebagai subyek hukum. Manusia dianggap sebagai hak mulai ia dilahirkan sampai dengan ia meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan pun bisa dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yang menghendakinya. Namun,
ada beberapa golongan yang oleh hukum dipandang sebagai subyek hukum yang "tidak cakap" hukum. Maka dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum mereka harus diwakili atau dibantu oleh orang lain.
Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi status "persoon" oleh hukum sehingga mempunyai hak dan kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia. Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.
BADAN HUKUM SEBAGAI SUBYEK HUKUM (Legal Person)
       KUHPerdata tidak mengatur secara umum, hanya dalam Bab 9 Buku III diberikan kemungkinan adanya Badan Hukum. (N: Zedelijk Lichaam).
       Adanya  sebagai subyek hukum timbul karena kebutuhan pergaulan hidup yang membutuhkan subyek hukum lain selain manusia. Manusia yang mempunyai kepentingan yang sama akan berkumpul membentuk organisasi/ perkumpulan.
       Yang akan bertindak untuk organisasi ini adalah pengurusnya. Pengurus ini akan bertindak atas namanya sendiri. Apabila pegurus diganti akan menimbulkan masalah, maka memerlukan status sebagai subyek hukum.
       UU memberikan kemungkinan untuk menjadi yang mempunyai hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan kewajiban anggota. Di samping itu, Badan Hukum dapat melakukan perbuatan hukum.
Teori adanya badan hukum:
TEORI FIKSI dari Von Savigny.
            Dasar untuk menjadi subyek hukum adalah “kemampuan untuk mempunyai kehendak”. Menurut sifatnya hanya manusia, namun dalam pergaulan hidup kita harus mengakui adanya subyek hukum  lain yang dianggap mempunyai kemampuan untuk mempunyai kehendak. Hal ini disebut Fiksi.
TEORI ORGAN dari Otto von Gierke.
            Dasar pemikirannya adalah materi. Harus dapat ditangkap oleh panca-indera.
            Menurut teori ini, BADAN HUKUM adalah organism riil. Pengurus BADAN HUKUM disamakan dengan otak, kaki, tangan manusia. Dengan demikian, BADAN HUKUM bertindak oleh manusia.
TEORI KENYATAAN YURIDIS dari Meyers.
            Persamaan BADAN HUKUM dengan manusia hanya untuk lapangan hukum.
TEORI FUNGSI YANG MEMPUNYAI KEKAYAAN:
            Dasarnya adalah: Yang dapat menjalankan Hak adalah yang mempunyai hak. Dalam hal ini, pengurus yang menjadi pemilik hak dari BADAN HUKUM, karena fungsinya.
TEORI KOLEKTIF dari Von Jehring,  dikembankan Molengraaf :
Kumpulan manusia yang merupakan kesatuan.
            Hak dan Kewajiban BADAN HUKUM adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama. Artinya mereka bertanggung jawab secara bersama-sama.
TEORI KEKAYAAN BERTUJUAN dari Brinz.
            Yang merupakan subyek hukum adalah  apa yang dilindungi oleh hukum. Biasanya adalah manusia, tetapi mungkin juga tujuan. Sedangkan yang melaksankannya adalah mansusia.

B.     OBYEK HUKUM BENDA BERGERAK DAN BENDA TIDAK BERGERAK
Pengertian Objek hukum adalah segala sesuatu yang berada dalam pengaturan hukum dan dapat dimanfaatkan oleh subjek hukum (manusia dan badan hukum) berdasarkan hak dan kewajiban objek hukum yang bersangkutan. Jadi, objek itu haruslah sesuatu yang pemanfaatannya diatur bedasarkan jual beli, sewa-menyewa, waris-mewarisi, perjanjian dan sebagainya. Objek hukum dapat juga diartikan sebagai segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum dan yang dapat menjadi pokok (objek) suatu hubungan hukum, yang disebut hak. Segala sesuatu dapat saja dikuasai oleh subjek hukum.
Berdasarkan Pasal 504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), benda dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak. Mengenai benda tidak bergerak, diatur dalam Pasal 506 – Pasal 508 KUHPer. Sedangkan untuk benda bergerak, diatur dalam Pasal 509 – Pasal 518 KUHPer.
 Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 61-62), suatu benda dapat tergolong dalam golongan benda yang tidak bergerak (“onroerend”) pertama karenasifatnya, kedua karena tujuan pemakaiannya, dan ketiga karena memang demikian ditentukan oleh undang-undang.
 Lebih lanjut, Subekti menjelaskan bahwa adapun benda yang tidak bergerak karena sifatnya ialah tanah, termasuk segala sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung, karena perbuatan alam atau perbuatan manusia, digabungkan secara erat menjadi satu dengan tanah itu. Jadi, misalnya sebidang pekarangan, beserta dengan apa yang terdapat di dalam tanah itu dan segala apa yang dibangun di situ secara tetap (rumah) dan yang ditanam di situ (pohon), terhitung buah-buahan di pohon yang belum diambil. Tidak bergerak karena tujuan pemakaiannya, ialah segala apa yang meskipun tidak secara sungguh-sungguh digabungkan dengan tanah atau bangunan, dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan itu untuk waktu yang agak lama, yaitu misalnya mesin-mesin dalam suatu pabrik. Selanjutnya, ialah tidak bergerak karena memang demikian ditentukan oleh undang-undang, segala hak atau penagihan yang mengenai suatu benda yang tidak bergerak.
 Pada sisi lain masih menurut Subekti, suatu benda dihitung termasuk golongan benda yang bergerak karena sifatnya atau karena ditentukan oleh undang-undang. Suatu benda yang bergerak karena sifatnya ialah benda yang tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan, jadi misalnya barang perabot rumah tangga. Tergolong benda yang bergerak karena penetapan undang-undang ialah misalnya vruchtgebruik dari suatu benda yang bergerak, lijfrenten, surat-surat sero dari suatu perseroan perdagangan, surat-surat obligasi negara, dan sebagainya.

Menurut Ny. Frieda Husni Hasbullah, S.H., M.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak Yang Memberi Kenikmatan, mengatakan bahwa untuk kebendaan tidak bergerak dapat dibagi dalam tiga golongan:
1.      Benda tidak bergerak karena sifatnya (Pasal 506 KUHPer) 
2.        Benda tidak bergerak karena peruntukannya atau tujuan pemakaiannya (Pasal 507 KUHPer)
3.      Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang 
Kebendaan bergerak dapat dibagi dalam dua golongan:
1.      Benda bergerak karena sifatnya 
2.      Benda bergerak karena ketentuan undang-undang (Pasal 511 KUHPer)
Pembedaan yang berkaitan dengan empat hal yaitu penguasaan, penyerahan, daluwarsa, dan pembebanan. Keempat hal yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.      Kedudukan berkuasa (bezit)
2.       Penyerahan (levering)
3.      Pembebanan (bezwaring)
4.      Daluwarsa (verjaring)






SUMBER        :
PNN Simanjutak Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta Djambatan 2000
Komariah Hukum Perdata Malang UMM Press 2000
 Hasbullah, Frieda Husni. 2005. Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak Yang Memberi Kenikmatan. Ind-Hil-Co.
 Subekti. 2003. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Intermasa.
Chainur Arrasjid, 2006. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Penerbit SINAR GRAFIKA: Jakarta

BAB I : PENGERTIAN HUKUM DAN HUKUM EKONOMI

A.    KODEFIKASI HUKUM
Kodifikasi Hukum merupakan pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap. Ditinjau dari segi bentuknya, hukum dapat dibedakan atas:
a). Hukum Tertulis (statute law, written law), yaitu hukum yang dicantumkan dalam pelbagai peraturan-peraturan.
b). Hukum Tak Tertulis (unstatutery law, unwritten law), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundangan (hukum kebiasaan).
* Unsur-unsur dari suatu kodifikasi:
a. Jenis-jenis hukum tertentu
b. Sistematis
c. Lengkap
* Tujuan Kodifikasi Hukum tertulis untuk memperoleh:
a. Kepastian hukum
b. Penyederhanaan hukum
c. Kesatuan hukum
Aliran-aliran (praktek) hukum setelah adanya kodifikasi hukum
1. Aliran Legisme, yang berpendapat bahwa hukum adalah undang-undang dan diluar undang-undang tidak ada hukum.
2. Aliran Freie Rechslehre, yang berpenapat bahwa hukum terdapat di dalam masyarakat.
3. Aliran Rechsvinding adalah aliran diantara aliran Legisme dan aliran Freie Rechtslehre. Aliran Rechtsvinding berpendapat  bahwa hukum terdapat dalam undang-undang yang diselaraskan dengan hukum yang ada di dalam masyarakat.
Menurut teori ada 2 macam kodifikasi hukum, yaitu :
o Kodifikasi terbuka: kodifikasi yang membuka diri terhadap terdapatnya tambahan-tambahan diluar induk kondifikasi.
“Hukum dibiarkan berkembang menurut kebutuhan masyarakat dan hukum tidak lagi disebut sebagai penghambat kemajuan masyarakat hukum disini diartikan sebagai peraturan”.
o Kodifikasi tertutup: semua hal yang menyangkut permasalahannya dimasukan ke dalam kodifikasi atau buku kumpulan peraturan

B.     PENGERTIAN EKONOMI DAN HUKUM
Ekonomi merupakan ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran. Inti masalah ekonomi adalah adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Permasalahan itu yang menyebabkan timbulnya kelangkaan. Hukum ekonomi adalah suatu hubungan sebab akibat atau pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat. Diseluruh dunia, hukum ekonomi berfungsi untuk mengatur dan membatasi kegiatan-kegiatan ekonomi, dengan pengharapan pembangunan perekonomian tidak mengabaikan hak-hak dan kepentingan masyarakat
C.    PENGERTIAN EKONOMI MENURUT PARA AHLI
·         Menurut Prof. John. W. Head, dengan pemahamannya yang mendalam tentang hukum ekonomi, jadi pengertian hukum ekonomi adalah jalinan hukum yang pelik ini sering disebut juga hukum ekonomi. Intinya hukum ekonomi sangat luas obyek dan ruang lingkupnya dibandingkan dengan disiplin ilmu hukum yang lainnya.
·         Menurut Ismail Saleh mantan menteri kehakiman RI mengemukakan pengertian hukum ekonomi ialah hukum yang senantiasa menjaga dan mengadakan kaidah-kaidah pengaman, agar dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi tidak akan mengorbankan hak-hak dan kepentingan pihak yang lemah.

·         Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro merupakan keseluruhan norma-norma yang dibuat oleh pemerintah sebagai suatu personifikasi dari masyarakat yang mengatur kehidupan ekonomi dimana kepentingan individu dan kepentingan masyarakat saling berhadapan.
Hukum ekonomi terbagi menjadi 2, yaitu:
a.) Hukum ekonomi pembangunan
b.) Hukum ekonomi social
Tujuan Hukum dan Sumber-sumber hukum
Hukum itu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakatdan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu.
Hukum ditinjau dari segi material dan formal
• Sumber-sumber hukum material
Dalam sumber hukum material dapat ditinjau lagi dari berbagai sudut, misalnya dari sudut ekonomi, sejarah sosiolagi, filsafat, dsb

• Sumber hukum formal
1.      Undang – Undang (Statute)
2.       Kebiasaan (Costum)
3.      Keputusan Hakim (Jurisprudentie)






SUMBER:
Nurul Qamar, 2009. Pengantar Hukum Ekonomi Penerbit Pustaka Refleksi: Makassar